Pages

Search Upil on This Blog

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

Monday, March 31, 2014

Sang Gadis dan Lelaki Itu: "Memulai itu lebih mudah daripada mengakhiri."

"Memulai itu lebih mudah daripada mengakhiri."

Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga sang gadis. Ia memikirkan betapa sulitnya untuk mengambil keputusan. Hubungan yang tidak sehat itu, apakah masih bisa diobati atau harus dilepaskan begitu saja. Setiap langkah memang memiliki konsekuensi, dan tidak setiap orang siap menanggung konsekuensi itu. Obat pahit bernama kenyataan itu memang susah bila harus ditelan tanpa air, tapi akan lebih susah apabila harus dikunyah lebih dulu, lebih pahit.

Apa yang harus dipertahankan? Apa yang harus dipertimbangkan? Bagaimana kalau hasilnya tidak sesuai?
Begitu banyak hal yang sang gadis pikirkan, memang tipe orang yang takut sebelum terjadi.

* * *

Dunia teknologi sangat sedih apabila kecanggihannya tidak dimanfaatkan dengan baik oleh manusia. Dewasa ini telah muncul banyak sosial media, aplikasi-aplikasi canggih di dalam smartphone dan tentu saja ditujukan untuk pengguna yang 'smart'. Tujuannya adalah untuk komunikasi. Iya, manusia telah dimanjakan dengan kemudahan berkomunikasi. Lantas, bagaimana bisa menjadi alasan renggangnya hubungan dua orang yang hanya berpisah secara raga? Masuk akal? Logis? Sepertinya tidak.

Sang gadis memikirkan itu, memikirkan bahwa alasan kerenggangan hubungannya dengan lelaki itu karena satu hal, komunikasi. Jarak memang memisahkan raga, tapi komunikasi adalah satu-satunya cara untuk menyatukan hati. Konsekuensi dari sebuah jarak adalah kangen, tentu saja. Tapi, bukankah kecanggihan teknologi sudah mengatasinya? Kangen ya tinggal sms, DM, message, chatting. Kangen suara, ya tinggal telpon. Kangen melihat satu sama lain tapi gak bisa ketemu, ya tinggal skype. Tidak bisa semua? Tidak mungkin. Bisa, tapi usaha yang tidak ada.

Entah apa yang menjadi alasan sebenarnya, sang gadis tak pernah mengetahuinya. Sampai ketika ia kembali bertemu lelaki itu, satu bulan kemudian. Mungkin inilah pola pikir yang berbeda antara sang gadis dan lelaki itu. Sang gadis, bisa saja menghindari lelaki itu, bersikap cuek atau dingin. Tapi itu akan berlangsung selama beberapa jam atau mungkin tiga hari, paling lama. Namun, ketika lelaki itu menghindari sang gadis, bersikap cuek atau dingin, itu akan memakan waktu yang lebih lama. Sepuluh hari, bukanlah waktu yang sebentar bagi sang gadis. Lantas apa yang dilakukan lelaki itu? Tentu saja berkumpul bersama teman-temannya. Mungkin memang benar, perempuan itu memiliki perasaan yang jauh lebih sensitif. Sang gadis merasa tidak dipedulikan, disamarkan, dan dianggap tidak ada.

Sang gadis dan lelaki itu memperdebatkan persoalan yang sepele. "Aku kan hubungi kamu duluan pas hari anu." atau  "Aku telponin kamu berulang kali, tapi kamu sama sekali gak mencoba telpon aku.". Lucu memang. Segala sesuatu yang sepele bisa menjadi besar, bisa menjadi runyam, dan lebih membuat emosional bila berbentur ego. Sang gadis tidak mau kalah, lelaki itu jauh tidak ingin mengalah (lagi).

* * *

"Aku capek untuk menghadapi sikap kamu yang seperti ini. Tega banget sih jadi cowok."
"Kamu itu, kalau tidak tahan dengan aku, yaudah bilang. Nggak usah nunggu aku yang bilang duluan, kenapa sih?"
"Yaudah, kalau gitu. Kita putus."
"Oke. Semoga kamu dapet cowok yang lebih perhatian, lebih sayang dan lebih peduli."
"Amin. Semoga aku cewek terakhir yang kamu gantungin."
"Amin."

PUTUS.
Semudah itukah? Semudah membalikkan telapak tangan? Begitulah apabila emosi sudah menguasai otak. Namun, apakah kejadian yang dulu akan terulang? Rasa sesal itu akan menghampiri sang gadis lagi? Tentu saja tidak. Bagi sang gadis, berpisah karena disakiti jauh lebih cepat sembuh dari luka daripada berpisah secara baik-baik. 

Ah, ternyata mengakhiri memang tidak semudah memulai. Tapi, bagi sang gadis, ini justru awal untuk memulai kehidupan yang lebih baik. Ini hanya soal pola pikir.