Pages

Search Upil on This Blog

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

Tuesday, November 12, 2013

Nyeseknya Mahasiswa Tingkat Akhir

  
Pernah gak pada suatu pagi, di saat lu bangun tidur. Terasa nyesek banget? Bukan nyesek karena (maaf) suatu penyakit. Tapi lebih karena batin. Iya, temen gue (gue pun meng-amin-kan) merasakan hal yang serupa di kala bangun tidur. Bedanya, temen gue cuma kerasa nyesek setiap hari senin, dan gue hampir setiap hari.

TANYA KENAPA?

Setiap manusia diberikan waktu yang sama oleh Tuhan, 24 jam. Hanya orang-orang yang mampu memanfaatkan waktu yang sama tersebut yang akan menjadi pemenang. Waktu terasa terlewatkan begitu saja, sia-sia. 

Jujur, semester ini sebenarnya tidak terlalu banyak beban mata kuliah. Hanya 8 sks, 4 mata kuliah. Itulah enaknya jadi mahasiswa tingkat akhir. Namun, dibalik keringanan itu terdapat beban yang dipikul, terasa berat sekali. Tagihan skripsi.

Sampai tulisan ini diketik pun, belum sejengkal pun gue nemuin dosen pembimbing. Padahal, dosen pembimbing telah ditentukan sejak awal semester ganjil ini. Sudah lama, dan gue masih "diam di tempat". Sungguh alasan yang tidak bijak sekali bukan kalau gue bilang "gak ada waktu"?

Setelah nyesek pas bangun tidur, gue juga jadi nyesek kalau lihat foto orang tua, inget orang tua, dan hal-hal yang berhubungan dengan orang tua. Terasa dikejar-kejar karena utang. Emang bener sih, utang kewajiban. Toh, gue juga udah ambil skripsi dari semester 7 ini sih. Gue jadi super sensitif melebihi merek tespack.

Gue jadi inget kejadian sekitar 2 minggu yang lalu. Hari itu, akhir bulan, gue lupa tanggal berapa. Duit gue di ATM limit, di ambang batas sewajarnyalah, meski bisa dikatakan itu masih cukup. Tapi tetep aja hati gue gak tenang. Jadi, malam itu gue kode ke bapak gue. Gue sms pake salam yang sopan, nanya kabar. Terus laporan keuangan deh. Beberapa hari kemudian, gak ada respon. Ah, kode gue gak kebaca atau bapak gue yang lupa? Sampai akhirnya gue WA si teteh, nyuruh bapak baca kode gue. Sehabis isya, ternyata bapak langsung ngirim. Dasar pikun. Gue selalu lupa untuk sms bapak untuk bilang "terima kasih" atau karena gue anak yang gak tau terima kasih? Oh :( tidaaaaaaaak. 

Sebuah percakapan terselip di sela-sela telponan dengan bapak.
Bapak: "dek, gimana? udah mulai?"
gue: "hah? apa? oh, masih di judul."
Bapak: "masih dijudul aja dari dulu? kapan penelitiannya?"
gue: "eum, ade masih harus nyari referensinya dulu. cari teorinya gitu, pak."

Lihat! Apa yang bisa gue lakukan? Gue cuma bisa ngeles. Ini sungguh beban mental. Bagaimana tidak? Gue tau, secara gak langsung gue sedang dibandingkan dengan si teteh yang bulan Desember udah kelar, Januari sidang, Juli wisuda (gak kebagian kursi yang gelombang sebelumnya). Iya, harusnya gue emang lebih memerhatikan tentang hal ini. 

JADI, SELAMA INI LO NGAPAIN AJA DI WAKTU SENGGANG?

Jawaban absurd akan gue lontarkan. Gue nonton film dan drama korea. Daebak~ 
Waktu gue terbuang percuma selama berjam-jam. Kerjaan gue ya cuma nonton, makan, main, kuliah aja cuma 4 kali doang, pacaran, dan hal-hal yang gak berguna lainnya. Gue tau, gue sedang membangun habbit yang buruk. Maka, ketika mulai disinggung-singgung oleh dosen, gue mulai berpikir. Gue gak bisa kayak gini terus. Mahasiswa tingkat akhir memang banyak cobaannya. Dan yang paling tidak mengenakkan adalah boros. Maka, sekarang gue lagi memprogram hidup gue agar tidak boros. Harus pandai memilah dan menabung. Membeli barang yang dibutuhkan, bukan yang diinginkan. Okesip.

Dan sebenernya alasan kesensitifan gue selama ini, terletak pada itu. Beban skripsi. Susah memang untuk mengawali suatu hal semacam itu. Tapi, gue harus! Gue butuh dukungan. Bukan dukungan untuk tetap menunda, tapi dukungan untuk melangkah. Jangan mentang-mentang dosen pembimbing pernah ngasih nilai C ke gue, dan gue jadi diem di tempat. Ah, hal ini tak boleh dibiarkan. 

SEMANGAAAAAAAAAAT PIT!!!!
uyeeaaaaaaaaaaaaaaaaah~

Monday, November 11, 2013

Sebuah Awal Cerita

 

Dear Mr. Rasional…

Apa kabarmu hari ini?
Tak apa kan bila kupanggil kau dengan Mr. Rasional? Atau harus kuganti dengan Lelaki Penyabar Ciangsana?

Lelaki chubby itu kutemui kali pertama di sebuah acara kopdar. Ya, kopi darat, pertemuan antar manusia maya di dunia nyata. Kopdar salah satu komunitas blog, tentu saja hanya regional Jogja. Bila kau bertanya padaku bagaimana perasaanku padanya pada saat itu? Biasa saja. Tak ada yang menarik. Lelaki yang bawel, garing, ceria, dan hitam manis. Hari itu kau cenderung cuek seolah kutak ada, kecuali pada saat makan. Itupun karena kita sama-sama tidak mengetahui topik yang seringkali dilempar teman-teman. Satu hal baru yang kutau setelah makan tentang kamu, gombal.
“Neng, helm kita samaan nih mereknya. Jodoh kali ya.”
Aku hanya diam. Menyunggingkan senyum setengah kepaksa. Pada dasarnya, aku memang tak suka cowok gombal. Terlalu banyak tipu muslihatnya. “Modus banget”, kalau kata anak gaul zaman sekarang.

Entah malam keberapa setelah kopdar, akhirnya aku mendengarkan kamu on air. Padahal aku jarang sekali mendengarkan radio streaming, internet gak bersahabat. Oya, ngomong-ngomong soal on-air. Seenarnya, kau telah mencuri perhatianku sejak “makanan zaman kecil” menjadi topikmu di acara SIDOEL. Tapi aku tak pernah mengetahui kalau itu kamu. Sampai akhirnya aku kepo, tentu tidak kepo yang mendalam, kamu jangan ge-er.

Beberapa minggu kemudian, entah kerasukan roh apa, kamu mulai mention-mention, tag nama aku di komentar grup di pembicaraan random. Sebagai cewek, aku tentu saja dapat membaca gerak-gerik itu. Aku hafal apa yang sedang kamu lakukan. Mencuri perhatianku.

Tak cukup di sosial media. Pada suatu malam minggu, kamu mengajakku keluar. Aku pikir itu hanya main-main. Lalu kamu memintaku untuk sms kamu. Aku mengikuti saja alur berpikirmu, sampai akhirnya kamu meminta maaf karena motormu sedang dipakai oleh teman. Sedikit kecewa. Yah, aku terkena php. Siapa yang mengajak, siapa yang membatalkan. Kamu.

Kali kedua bertemu secara langsung, aku tak merasakan apapun. Masih biasa saja meski aku tau kamu masih saja mencoba mencuri perhatianku. Lalu, kamu meminta maaf atas kejadian php yang hampir kulupakan itu. Pertemuan yang tak begitu bermakna dalam.

Selanjutnya, kita lebih sering mention. beberapa kali kamu mengajakku keluar, tapi beberapa kali pula aku menolaknya. Bukan karena aku tak mau, tapi terkadang waktu memang tak bersahabat. Sampai akhirnya, suatu malam aku sangat kelaparan. Kamu yang masih dalam rangka mencuri perhatian, secara sedikit memaksa untuk mengantar makanan ke kos, tengah malam, pukul setengah satu. Wajahmu yang ceria malam itu, masih kurekam. Terima kasih untuk kepedulianmu, Mr. Rasional.


Bersambung...