Pages

Search Upil on This Blog

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

Tuesday, July 13, 2010

Thanks, Bagas .. !!



Pagi itu aku terbangunkan oleh sinar mentari yang masuk lewat jendela disebelah Timur kamarku sehingga terpantulkan cermin tepat ke arah wajahku yang tertutup selimut. Cahayanya begitu menyilaukan. Hari ini menjanjikan sebuah kecerahan, mungkin ini gantinya hari kemarin yang hujan. Aku menarik kasar handuk yang dikaitkan di belakang pintu dan melingkarkannya di leher. Tak lupa satu setel pakaian bersih pun aku ambil dari lemari.
“Ternyata kau ingat bangun juga?” Sindir Bagas yang dengan santainya duduk didepan TV dan memainkan remote mencari channel. Perkataannya membuatku tak nyaman. Lagipula ini aneh, tak seperti biasanya ia kemari sepagi ini.


“Maksudmu apa, heh?” Sahutku masih marah karena kejadian kemarin.
“Jadi kau masih marah padaku?” Ia menyadari keketusan dalam ucapanku.
“Ngapain kamu pagi-pagi udah ada disini?”
“Nenekmu sedang ke warung untuk belanja, aku disuruh menunggu kau bangun. Karena beliau takut kau hilang atau diculik. Padahal aku sudah meyakinkannya bahwa tak ada yang bernafsu untuk menculikmu.”
Aku enggan menggubris ucapannya. Karena itu hanya akan menimbulkan perdebatan yang tak berujung. Jadi, ku putuskan untuk segera masuk kamar mandi dan ku banting pintu sekeras mungkin. Berharap ia bisa menebak arti bantingan itu dan segera pergi dari sini.

Keluar kamar mandi, aku pun tersenyum puas karena ia sudah tak ada di tempat tadi aku meninggalkannya. Aku pun bergegas pergi ke teras samping, tempat nenek biasa menjemur baju untuk mengeringkan handuk basahku.
Aku kembali ke kamarku dan mengambil komik Conanku dan mulai membacanya di atas kursi goyang nenek dekat kolam ikan di depan rumah. Aku mulai serius dengan kasus pembunuhan yang ditangani Conan and the gank ketika Bagas menghampiriku. Ukh, kenapa sih harus ada makhluk jelek yang buntutin aku kayak dia? Geramku. Sengaja aku tak menyahut saat dia menyapaku.

"Maaf soal kemarin Lun. Aku cuma pengen buat kamu seneng aja. Jangan marah lagi ya.” Sesal Bagas, nada bicaranya terlihat sungguh-sungguh.

“Aku gak marah kok.”

“Dasar childish yang sok dewasa.” Lirihnya.
“Biarin, aku kan masih dua belas tahun.”
“Terus, aku dimaafin kan ?”

Aku mengangguk mantap, lalu menyunggingkan senyum terpaksa padanya kemudian kembali fokus pada Conan. Tapi yang jelas, itu membawaku ke ingatan dua tahun lalu yang menyebabkan aku selalu memaafkannya sertiap kali ia berbuat salah.
* * *



Hari ini adalah hari pertama liburan semester. Pagi sekali aku sudah meregangkan semua ototku. Aku selalu ceria bila liburan tiba, sama halnya seperti anak-anak yang lain. Jadi, aku pun mengawali hari ini dengan penuh semangat dan keceriaan. Tapi lain ceritanya kalau pagi-pagi aku sudah disuruh ini-itu. Itu adalah hal paling menyebalkan.

Benar saja, belum apa-apa nenek sudah menyuruhku mengambil daun singkong di kebun kami yang tidak terlalu jauh dari rumah. Dengan sangat enggan aku melangkahkan kakiku ke kebun, tentu saja bersama Dinoz. Ketika aku melewati sebuah rumah yang hampir reyot, mungkin bisa dibilang itu gubuk, bukan rumah. Didepannya ada seorang lelaki kucel sedang mengeluarkan tiga ekor anak kambing. Anak itu semakin menarik perhatianku, saat ia memandikan tiga anak kambing itu. Itu kan hal yang tak lumrah. Udah kayak anjing pudel saja, fikirku.
Akhirnya aku mulai tiba di kebun dan mulai menjalankan tugas dari nenek. Sedang seriusnya aku memetik, tiba-tiba aku menyadari bahwa Dinoz hilang. Aku panik dan memanggil nama Dinoz, meski aku tahu Dinoz tak mungkin menyahutku.
“Kau cari ini?” Seseorang mengagetkanku. Tangan kanannya memegangi Dinoz dan tangan kirinya memegang arit.
Aku mengangguk pelan dan menelan ludah. Ini seperti saat penculik menukar tawanannya dengan uang. Tapi bedanya Dinoz bukan ditukar dengan uang, melainkan nyawaku.
Buru-buru aku mengambil Dinoz dari tangannya, lalu meraih keranjang berisi daun singkong yang tadi aku petik. Dia menarik tanganku, gerakannya sangat cepat. Aku menjerit sejadinya karena panik. Dengan lihainya dia menutup mulutku, sedangkan tangan yang lain menjulurkan telunjuk ke bibir. Entah dikemanakan arit yang tadi sempat membuat bulu kudukku meremang.
“Aku Bagas, aku bukan orang jahat. Aku cuma menemukan boneka itu dan aku tau itu punya kamu. Percaya kan?” Ia meyakinkan aku.
Aku menganggukan kepala, pasrah. Ia pun perlahan melepaskan tangannya dari mulutku dan jarinya masih di bibirnya. Berusaha agar aku tak berteriak lagi.
“Aku Luna. Kamu menemukan Dinoz dimana?” Tanyaku terbata-bata, nafasku masih belum teratur.
“Disana, dijalan setapak menuju kesini.”
Sebagai permintaan maafku, aku mengajaknya ke rumah. Tapi ternyata ia masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Mencari rumput untuk kambingnya. Maka dari itu ia membawa arit. Aku jadi kagum sama Bagas, kata nenek dia itu anak yang rajin dan ulet. Tapi tetap saja, aku tak suka bila dibandingkan dengan siapa pun, meskipun dia cowok.
Jam menunjukkan tepat pukul sepuluh, aku sedang menjemur Dinoz yang baru saja aku cuci. Bagas datang ke rumah dengan sepeda antiknya. Aku tertawa pelan, badannya lebih kecil ketimbang sepedanya yang kelewat lebih besar untuknya.
Aku bergegas masuk dan meminta izin nenek. Akhirnya petualangan pun segera dimulai. Kami melewati banyak kebun milik warga. Sebelumnya aku jarang sekali pergi melihat-lihat keadaan sekitar, nenek tak pernah mengajakku. Bahkan saat kakek masih ada pun, aku tak pernah diajak jalan-jalan. Angin yang menghempas wajahku begitu menyejukkan sampai aku tak sadar bahwa aku memejamkan mata dan mempererat tanganku di pinggang kurus Bagas. Tak perduli seberapa terik matahari menyengat siang itu, aku tetap bisa bersenandung kecil dan Bagas terus menyiulkan lagu yang tak aku kenali.
Tiba-tiba ada setetes air diatas hidungku, lalu disusul dengan tetesan-tetesan air yang lain yang bergerombol sedang menyerang kami. Hujanpun turun dengan asyiknya, katak disekitar jalan setapak pun melompat kegirangan. Padahal matahari masih tersenyum hangat. Bagas mengentikan laju sepedanya dan mengajakku untuk meneduh dibawah pohon pisang yang cukup tinggi.
“Sayang banget ya, harus hujan. Padahal aku pengen ngajak kamu ke air terjun.” Ucap Bagas.
“Oya? Serius?” Aku terperangah sekaligus senang. Lalu mengatupkan mulut saat sadar bahwa mimik wajahku terlalu berlebihan. “Tapi kita kan gak tau rencana Tuhan Gas. Emm, kamu tenang aja, aku seneng kok hujan yang ada sinar mataharinya.” Tambahku menutupi kekagetanku tadi.
“Kenapa?”
“Karena itu adalah kejutan dari Tuhan. Lagi panas, malah turun hujan. Tapi jangan terlalu deras juga. Soalnya kalau hujannya agak kecil kan jadi kayak butiran salju gitu. Belum pernah merhatiinya ya?” Tanyaku polos.
Bagas menggeleng. “Tapi aku juga suka tuh kalau hujannya kayak gitu.”
“Berapa lama lagi kita sampai ke air terjun?”
“Tinggal melewati tikungan itu kok.” Ia menunjuk ke arah kanan pohon rambutan yang letaknya kira-kira tujuh belas meter dari tempat kami berdiri.
Tadinya ia enggan mengajakku menerobos hujan rintik-rintik ini, tapi karena aku memaksanya, jadi ia akhirnya menurut juga. Lagipula, kami kepalang basah, sekalian aja nyebur.
Air setinggi tujuh puluh dua meter terjun bebas sesuai gravitasi di hadapan kami. Aku hanya berdiam mematung mengamati keindahan alam ini. Tempat ini memang terasa sedikit mengerikan, karena sunyi, meski tak jauh dari jalanan. Namun aku tak menghiraukannya, tanpa disadari aku berjalan beberapa langkah dari tempatku berdiri dan mencoba merasakan aura airnya yang dingin. Bagas telah berdiri diatas batu besar yang hanya berjarak satu setengah meter dari jatuhnya ait itu. Andai saja ada tustel, pastilah aku telah mengabadikannya.
Ingin sekali aku berdiri tepat dibawah ait terjun itu, tapi aku juga cukup sadar bahwa tubuhku sangat rapuh dan aku juga tak bisa berenang bila aku terbawa arus yang deras. Bagas melirik ke arahku dengan sorot matanya yang sayu. Namun lama-lama wajah dan senyumnya kabur dalam pandanganku. Selama beberapa detik sesak nafas menyerangku, aku mulai berada dalam dunia sadar dan tak sadar sebab semuanya begitu hitam, cahaya yang ada di dunia ini seperti lenyap begitu saja. Semuanya berubah jadi kelam, gelap, pengap dan hilang.
Sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggil namaku. Suara seseorang yang sangat familiar ditelingaku, suara yang begitu tulus. Suara itu lama-lama terasa makin jelas dan terdengar seperti isakan. Aku ingin melihatnya, aku ingin bangun, siapa pun yang ada disini, tolong bangunkan aku. Aku ingin berkata kepadanya bahwa aku baik-baik saja dan aku ingin menghapus isak tangis Bundaku itu. Aku ingin berteriak, namun kenapa mulut ini tak bisa terbuka, suara ini tercekat begitu aku berusaha bersuara. Akhirnya aku beristigfar selama aku bisa.
“Bunda...” sebuah kata itupun akhirnya bisa aku ucapkan.
“Alhamdulillah, kamu sudah sadar, sayang.” Bunda mengelus wajahku tulus.
Akupun melihat ayah sedang bersandar dekat pintu bersama seorang lelaki paruh baya yang memakai jas putih. Sedangkan nenek berbaring ke pundak Bagas di sofa motif bunga tak jauh dari ayah. Aku takkan sadar bahwa aku berada di rumah sakit apabila aroma alkohol dan obat-obatan tak tercium olehku, ternyata aku masih hidup, hidungku masih sensitif sama seperti biasanya.
“Berapa lama aku gak sadar?”
“Enam jam.”
“Aku jatuh lagi ya, Bun.”
Bunda mengangguk, “kamu hampir hanyut, untung ada Bagas yang langsung bawa kamu pulang. Lalu ayah langsung minjem mobil Pak RT untuk bawa kamu kesini.”
“Maafin aku ya, karna selalu ngerepotin ayah dan bunda.”
Kata-kataku terdengar manis, bahkan ditelingaku sendiri. Mungkin hanya itu yang bisa aku ucapkan saat ini. Selebihnya aku hanya bersyukur dalam hati karna masih diberi kesempatan hidup. Tapi aku sadari, kanker otakku ini akan selalu menghantui hidupku, kapanpun dan dimanapun.
Hanya butuh satu minggu aku bertahan di rumah sakit yang tak mengenakan itu. Aku kembali menghirup udara desa tercintaku. Namun jatah mainku mulai dibatasi selama liburan ini. Itu akan sangat membosankan, fikiku.
Bagas yang habis pulang dari menggembala kambing ciliknya, mendekatiku yang tengah duduk di depan rumah sambil memeluk Dinoz.
“Aku tau, kamu pasti lagi sedih.” Tebak Bagas.
“Aku takut sama penyakit in.”
“Kenapa harus takut? Tau gak, kata guruku di sekolah, cuma orang pengecut yang nyerah sama keadaan. Kamu gak boleh takut, justru kamu harus melawannya.”
“Tapi, gimana caranya?”
“Kemarin aku denger di radio kalau kita mau berusaha untuk sembuh akan muncul tiga kekuatan besar, yaitu kekuatan sikap syukur untuk menyembuhkan, kekuatan iman untuk menerima dan kekuatan tawa serta kegembiaraan untuk melenyapkan penyakit dalam tubuh.” Jelas Bagas yang mulai sok tau.
“Tawa? Apa hubungannya?”
“Apa kamu gak pernah mendengar istilah tawa adalah obat terbaik dan akan memberikan warna ajaib dalam hidup ketika kita terjatuh.”
“Kamu ngomong apa sih?” aku betanya dengan polosnya karena istilah yang Bagas gunakan agak asing di telingaku. Tapi aku heran juga sama Bagas, padahal usia kita cuma beda tiga tahun, tapi dia udah bisa berbicara dengan bahasa yang tinggi gitu. Mungkin karna dia sudah SMP, tebakku.
“Intinya kamu harus tetap semangat untuk bisa sembuh, jangan dengarkan orang yang bilang kalau kanker itu tak bisa disembuhkan. Kamu harus yakin, bahwa Tuhan sangat sayang sama kamu, dan kamu harus percaya bahwa mukjizat itu ada. Kalau Tuhan berkehendak kamu sembuh, kamu pasti bakal sembuh. Harus tetep sabar ya, Lun.” Ucap Bagas begitu meyakinkan.
Itu adalah kata-kata terpanjang, termanis dan tertulus yang Bagas ucapkan selama aku mengenalnya. Kata-kata Bagas pun seolah mengalir dalam darahku agar tetap teringat dan melahirkan energi baru dengan cepat bagaikan tubuh yang menciptakan sel baru setiap detiknya.
Aku mencoba memikirkan apa yang Bagas maksud dengan sikap syukur untuk menyembuhkan, lalu aku mulai menanam kalimat kalau aku sudah sembuh dan aku baik-baik saja. Aneh rasanya, mempercayai apa yang aku lakukan. Ada sedikit keraguan dan terlintas dalam hati sebuah pertanyaan, apa dengan cara ini aku bisa tabah dan menerima semuanya?
Mungkin jawabannya adalah IYA, kata-kata Bagas waktu itu begitu meyakinkan. Aku harus terus menerus berfikir dan mengatakan bahwa aku sudah sembuh dan aku tak pernah punya penyakit seperti itu.
Beberapa hari ini Bagas selalu menyempatkan waktunya untuk menemaniku berceloteh. Dia sama sekali tidak menyinggung mengenai sakitku, entah sejak kapan dia jadi pandai menghibur, main teka-teki dan menceritakan hal-hal lucu yang pernah ia alami. Bagas juga menyarankan aku untuk selalu menonton acara dan film komedi konyol, bahkan Tom and Jerry yang kurang aku sukai.
Sudah dua bulan ini film yang lucu adalah makanan sehari-hariku, aku berusaha untuk menyingkirkan kata stress pada diriku karna aku yakin stress dapat menarik hal negatif dalam fikiranku. Dan hidupku penuh dengan tawa, senang dan bahagia. Dan baru aku sadar maksud Bagas yang dulu pernah ia ucapkan bahwa tawa adalah obat terbaik untuk hati. Tapi aku juga membatasi tawaku, supaya ayah dan Bunda gak menganggap aku gila.
Sakit pada kepala yang dulu sering aku derita, lambat laun mulai berkurang, bahkan sekarang sudah tak pernah aku rasakan lagi. Dan aku sekarang mulai percaya bahwa mukjizat itu ada, Tuhan masih sayang sama aku. Perjalanan hidupku masih jauh dan aku gak mau buat bunda dan ayah sedih lagi seperti dulu. Sekarang aku bertekad untuk takkan membiarkan air mata kesedihan tertetes dari mata kedua orang tuaku. Karna aku sayang mereka.
Hari ini adalah waktunya aku periksa lagi ke rumah sakit tempat aku diopname tiga bulan yang lalu. Kata-kata dokter yang masih terngiang ketika hari terkahir aku diopname disana adalah bahwa aku harus menjalani kemoterapi. Dan ayah berjuang untuk tetap menjalankan saran dokter tersebut. Aku yang telah banyak mendengar rumor akibat kemoterapi hanya mengulur-ngulur waktu agar bisa meyakinkan ayah untuk tidak melakukannya. Jujur, aku tak siap waktu itu.
Dan ketika aku sudah diperiksa dengan alat rontgen, bunda dan ayah duduk di hadapan dokter tersebut untuk menerima hasilnya. Aku yang sudah merasa baik-baik saja, tetap saja parno karna takut terapi sederhana Bagas tak mujarab seperti apa yang ia katakan.
“Pak Ardi.” Ucap sang dokter memulainya dengan penuh wibawa.
“Bagaimana dengan Luna, dok?” Sergah bunda yang tak sabar.
“Putri anda terbukti sembuh. Setelah saya cek berulang kali, kanker yang dulu ada itu, sekarang telah hilang. Ini sangat aneh, apa anda melakukan sesuatu pada putri anda?” Tanya sang dokter heran.
Bunda dan ayah menggeleng hampir berbarengan, “tidak dok,” ucap ayah yang terasa kurang sopan hanya dengan gelengan kepala.
“Berarti ini adalah suatu mukjizat dari Tuhan.”

* * *

Aku tak pernah yakin bahwa kini semuanya bukan hanya khayalan, aku masih berdiri di ambang ketidaksadaran saat ia menarik tanganku. Aku pasrah. Menuruti apa keinginannya, meski dalam hatiku aku bertanya-tanya. Ia berjalan didepanku dengan hati-hati agar aku tak terjatuh atau tersandung. Hari ini cuacanya begitu sejuk yang kelewat dingin, tetesan hujan pun baru saja berhenti setengah jam yang lalu.
“Bagas, kau akan membawaku kemana?”
“Tenanglah, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Tukasnya bersemangat.
“Kau tau kan? Hari mulai gelap. Nenek akan memarahiku bila aku pulang melewati magrib. Lagipula, jalanan tampak licin.” Aku mencoba mengingatkannya.
Namun sepertinya ia tak menggubris sedikitpun perkataanku. Lagi-lagi aku hanya menurut tanpa mau banyak bicara ketika kami berhenti disebuah gubuk tua yang sudah tak terurus sejak pemiliknya pergi entah kemana. Disana ada sebuah sepeda kumbang. Bagas meyuruhku naik di boncengan belakangnya. Sedangkan ia sudah tak sabar untuk mengayuhnya, kakinya telah siap di atas pedalnya. Tadinya aku fikir sepeda itu sudah rapuh karena beberapa bagiannya sudah berkarat, tapi ternyata berat badanku masih mampu ditopangnya.
Bagas mulai mengayuhnya dengan bersemangat. Tapi tetap saja, jalannya tak melebihi seekor siput. Entah karena badannya yang kelewat lembek atau aku yang terlalu berat baginya.
Kami pun tiba dipersimpangan jalan, ini hampir memasuki perbatasan desa. Dan ia memperlambat kecepatan sepedanya ketika kami berbelok ke kanan.
“Kau pasti akan suka Lun, kalau sudah melihatnya langsung.” Akhirnya ia memulai pembicaraan.
“Iya, tapi memangnya gak ada waktu lagi ya?”
Sebelum ia menjawabnya, perhatianku tertuju ke arah yang ditunjuk Bagas. Setengah menit yang lalu ia menghentikan laju sepedanya. Ya, jarinya membumbung menunjuk langit luas. Disana tergambarkan ciptaan-Nya yang Anggun.
Aku maju tersaruk-saruk ke tanah yang lebih tinggi—bukit yang ditumbuhi rumput manila—agar bisa melihatnya dengan jelas, meski di tempat tadi pun itu sudah cukup jelas. Bagas pun mengikuti langkahku. Ternyata ia masih mengingatnya, bahwa aku sangat mengagumi pelangi di sore hari. Hal yang baru ku alami lagi sejak dua tahun ini. Melihat pelangi dari atas bukit bersama Bagas, meski begitu rasa sebalku padanya belum berkurang sedikit pun. Matahari semakin ke ufuk Barat ketika ku lirik sekeliling bukit. Masih nampak sama seperti dua tahun yang lalu, hanya beberapa pohon pinus hilang, karena ditebangi orang tak bertanggung jawab.
“Bagas, jadi ini alasan kau mengajakku kesini?” Aku menghancurkan lamunanku sendiri dan mencoba menatap wajah polosnya.
Bagas mengangguk, sorot matanya tak beralih dari pelangi yang hampir memudar dan mulai terganti lembayung, seolah ia ingin melihat proses menghilangnya. “Bukan hanya itu, Lun. Aku juga ingin kamu menyaksikkan yang lainnya, tunggu beberapa menit lagi ya.”
Aku menatapnya heran, “ada apa lagi? Bukankah pelanginya hampir pergi?”
“Kamu akan tahu sebentar lagi.” Ia berkata sambil merebahkan tubuhnya ke atas rumput yang setengah kering. Lalu aku pun ikut berbaring di sampingnya.
“Matahari terbenam.” Gumamku tanpa sadar.
“Ya, itu yang aku tunggu.”
“Ada apa dengan matahari terbenam? Aku malah tak menyukainya, karena kecerahan akan hilang dan berganti kegelapan. Aku pun akan dimarahi nenek.” Ucapku menyadarkannya bahwa telah cukup lama kami pergi. Mungkin menyaksikan keindahan alam ini baru sepuluh menit, tapi perjalanannya memakan waktu lebih dari lima belas menit.
“Oh, maafkan aku Lun. Baiklah, kita pulang sekarang. Aku tak mau kau dimarahi nenekmu.” Ia bangkit dan menarik lenganku.
“Sudah terlambat.” Aku berbisik pada diriku sendiri sehingga Bagas tak menyadari ucapanku.
Setelah aku duduk di bagian pemboncengnya, ia mengayuh sepeda jauh lebih cepat dari ketika kami kemari. Aku tak mengerti apa yang menyebabkan semua itu terjadi, entah karena pelangi atau matahari terbenam kah yang telah menjadikannya kuat dan berenergi. Tapi mungkin karena takut aku dimarahi nenek, batinku.
Berkat Bagaslah aku bisa hidup bebas layaknya bayi burung yang baru belajar mengepakkan sayapnya. Aku sudah menganggapnya sebagai sahabat yang selalu dalam suka dan duka serta kakak yang setia memberi motivasi ketika ku terjatuh. Persahabatan dan persaudaraan ini akan selalu aku syukuri dan akan tetap begitu sampai tua nanti.

No comments:

Post a Comment

Silahkan comment UPIL gue dengan kaidah yang baik, tidak OOT, tidak vulgar dan tidak menyinggung SARA. ^^b #okesip