Pages

Search Upil on This Blog

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

Saturday, December 12, 2009

Sesalku


Liburan kali ini Sissy dan Vera pergi ke rumah kak Vega, kakanya Vera yang berada di Puncak. Saat itu hujan turun dengan derasnya, Sissy dan Vera yang semula akan menikmati pemandangan yang indah, jadi batal dan Sissy sangat bad mood karena hal itu.
“Duuh.. kita mau ngapain nih? Hujannya tuh gede banget.” Gerutu Sissy.
“Ye... namanya juga hujan, datangnya dari Tuhan. Masa kita mau halang-halangin sih? Ngaco kamu!” Sahut Vera sambil menyeruput cappucinonya.
“Aku kan jadi gak bisa foto-foto dan lihat pemandangan indah disini.” Sissy memandang keluar jendela dengan tatapan nanar. Seolah tak bisa foto-foto saat pemandangan indah kayak gini akan menimbulkan bencana besar.
”Dasar kamu, banci kamera. Gak bisa lihat objek bagus dikit, langsung jepret.” Vera meletakkan cappucinonya di meja kecil. Lalu menarik selimut yang telah ia siapkan ke separuh tubuhnya.
Sissy berjalan ogah-ogahan ke kamar dengan wajah yang cemberut. Lalu menekan tombol ON radio dan merebahkan tubuhnya di kasur, badannya terasa sangat pegal. Terdengar ocehan para penyiar yang membuat bad mood Sissy sedikit terobati. Apalagi saat lagu Someone Like You dari Adele diputar, Sissy seakan teringat sesuatu yang begitu menyakitkannya.
Tiga puluh menit kemudian hujan pun mereda, Sissy segera bangkit dan menggerakkan tubuh agar rasa pegalnya bisa berkurang. Lalu meraih kamera DSLR yang ia simpan diatas meja kecil di samping tempat tidur dan bergegas keluar kamar. Ketika ia akan mengajak Vera, ternyata Vera masih asyik tertidur dibawah selimut tebalnya.
“Sial! Aku harus sendirian deh menikmati semua ini.” Sissy menggerutu sambil memakai jaketnya.
Dengan agak kesal Sissy mulai membidik objek sekenanya. Ia melirik ke kanan-kirinya, “tak ada objek yang menarik lagi kah?” pikirnya.
“Hah! Itu kan Jo! Ngapain dia ada disini? Apa dia ngikutin aku ya? Eh tapi gak mungkin, pede banget sih aku.” Imbuhnya dalam hati sambil memukul kepalanya sendiri karena menyadari kebodohannya.
Dasar Sissy pikun, jelas aja Jo nongkrong disana, orang itu rumah neneknya. Sissy tau banyak tentang Jo. Karena diam-diam, sejak SMP dulu Sissy selalu mencari tau segala tetek bengek tentang Jo.
Semalaman Sissy tak bisa tidur dengan nyenyak, Jo terus saja melayang-layang dalam benaknya. Sementara Vera sedang asyik membuat pulau. “Dasar Jorok!” Seru Sissy dengan tatapan ilfil.
Sissy beranjak dari tempat tidurnya dan membuka jendela. Untung aja kamar mereka berdua berada di lantai dua, jadi ia bisa melihat sekeliling dengan jelas. Sissy melihat ada cahaya lampu dari rumah neneknya Jo, sepertinya ada seseorang yang sedang shalat. Entah itu shalat Isya atau Tahajjud. Sissy terus memperhatikannya, sampai seseorang itu membuka jendelanya. Ternyata seseorang itu adalah Jo.
“Ya ampun, rajin banget dia kalau dia bener sholat Tahajjud.” Ucap Sissy sambil sesekali ngumpet di balik tirai saat Jo melirik ke arahnya.
Rasa kagum Sissy semakin bertambah, dia sangat berbeda dengan Jo yang ia kenal saat menjadi rivalnya.
* * *
“Sissy, bangun! Udah pagi tau!” Teriak Vera di dekat kuping Sissy.
Sissy melirik jam digital disamping lemari buku, “Apaan sih Ver, ini tuh baru jam 5 pagi tau.” Sahut Sissy kesal.
“Justru jam segini tuh udaranya masih seger banget dan enak untuk jogging.” Belum sempat Sissy menjawab, Vera telah menarik lengannya. Sissy yang baru tersadar dari mimpi itu hanya bisa pasrah saat dibawa keluar kamar oleh Vera.
Tanpa disadari oleh Sissy, ternyata ia telah berada jauh dari rumahnya kak Vega. Dan betapa bodohnya ia, kenapa ia nurut aja ketika Vera menariknya tadi. Sekarang, ia jadi pusat perhatian orang-orang yang sedang jogging karena ia masih mengenakan pakaian tidurnya, tentu saja dengan rambut yang masih acak-acakan seperti tersapu angin topan.
“Vera goblok!” Seru Sissy dalam hati.
Sissy langsung lari menuju rumah kak Vega. Namun sialnya nasib Sissy, ia malah berpapasan dengan Jo. Jo melirik Sissy dari ujung kaki sampai ke ujung rambut bercabangnya, lalu memalingkan wajahnya ke samping sambil menutup mulut dengan telapak tangannya.
“Ya, aku tau kalau Jo sekarang tengah asyik menertawakan kekonyolanku.” Batinku.
Jo segera meneruskan joggingnya dan meninggalkan Sissy yang mati gaya didepannya.
“Uh! Dasar Vera sialan! Gara-gara dia, aku jadi enggan bertemu lagi dengan Jo. Aku malu setengah mati.” Geramku kesal setelah Jo pergi.
* * *
“Sis, udah dong ngambeknya! Tega banget sih aku dicuekin selama dua hari kayak ini, kamu gak kasihan apa sama aku?” Pinta Vera memohon-mohon disampingku.
Sissy berusaha menunjukkan tampang secuek mungkin. “Kamu tuh udah bikin aku berdiri mematung karena mati gaya setengh mati didepan Jo. Kalau kita ketemu di sekolah, apa kata Jo nanti?”
“Hah? Jo? Emang apa hubungannya sama Jo? Emangnya dia ada disini juga? Sejak kapan? Kok aku sampe gak tau?” Tanya Vera bertubi-tubi.
“Kamu nanya udah kaya wartawan yang wawancarain seleb deh.” Ucap Sissy asal.
Sissy terdiam, mencoba menarik nafas. Sissy lupa kalau ia ternyata belum cerita sama sekali pada Vera tentang Jo dan perasaannya. Sekarang ia bingung harus menjawab apa pada Vera.
“Aduuuh, jawab apaan nih? Jujur atau bohong? Kalau aku jujur, pasti Vera akan ngetawain aku, karena waktu SMP aku membenci Jo setengah mati.” Bisik hati Sissy. Tentu saja Sissy membenci Jo saat Jo berkepala botak, tingkahnya belagu dan jadi rivalnya di kelas.
“Tapi kalau aku bohong, pasti urusannya bakal lebih ribet, nanti yang ada gali lobang tutup lobang lagi. Terus aku akan dicap sebagai sahabat yang buruk karena gak mau jujur pada sahabatnya, secara Vera kan penganut paham Sahabat Tempat Berkeluh Kesah dan Senang.” Imbuh Sissy dalam hati.
Dan setelah Sissy pikir-pikir lagi, sahabat itu kan gak selalu harus tau privacy kita, ya kan? Entahlah, sekarang kepalanya terasa sangat pusing. Ingin rasanya saat itu juga ia menghilang dari hadapan Vera dan berharap Vera lupa dengan semuanya atau malah Vera tak pernah menanyakan hal itu sama sekali.
Satu minggu kemudian Sissy berpapasan dengan Jo saat ia akan mengembalikan buku ke Perpustakaan. Jo tersenyum ramah padanya, Sissy pun membalas senyuman itu. Hatinya terus berharap, kalau Jo akan lupa dengan kejadian konyol di puncak itu. Tapi tenyata Jo malah menanyakannya.
Sissy seperti terkena stroke mendadak, ingin rasanya ia segera berlari atau memakai topeng saat itu juga. Tapi kalimat yang muncul dalam otaknya hanya “em...i...it...itu aku lagi gak sadar aja.” Jawabnya spontan.
“Arrrrggghhh!!! Jawaban yang cukup bodoh.” Imbuhnya dalam hati setelah melihat Jo mengernyitkan dahi dan seolah berpikir “ini anak sudah stress ya?”
Dalam hati Sissy ia ingin sekali mengacak-acak rambut Vera dan mempermalukannya didepan umum. Namun itu tak mungkin terjadi, bagaimana bisa ia setega itu pada Vera, meskipun Vera telah menghancurkan hidupnya sekalipun dengan cara membuatnya mati kutu didepan Jo.
“Maafin aku deh Sis, aku kan cuma mau nunjukin pemandangan yang sangat wonderful doang sama kamu. Aku juga kan gak tau kalau kamu bakal ketemu sama Jo.” Sesal Vera panjang lebar setelah Sissy memarahinya sampai berbusa-busa sepulang dari perpustakaan.
Sissy menghela nafasnya, mencoba meredam amarahnya yang hampir klimaks. “Kamu juga gak tau kan kalau tadi dia tanya soal kejadian memalukan itu?” Lirih Sissy. “Kamu bisa bayangin kan gimana malunya aku dan aku hanya berdiri kaku didepan dia tadi?” Sissy semakin menyudutkan Vera.
Sissy jadi gak tega melihat Vera yang tertunduk merasa bersalah. “Apa sikapku terlalu berlebihan padanya?” Batin Sissy. Akhirnya Sissy memutuskan untuk memaafkannya dan melupakan semua kejadian itu. Vera memeluknya ringan, kemudian kembali mengembangkan senyuman manisnya.
* * *
"Sis, sampai kapan sih kamu bakal kayak gini terus?” Ucap Vera mengagetkan Sissy yang tengah melamun menatap lapangan bulutangkis, Jo sedang latihan disana. “Sampai kapan kamu akan terus menatapnya, melihat semua tingkah lakunya dari kajauhan dan mencari info tentang Jo?” Kini Vera merangkul bahu Sissy.
Sissy menggeleng lemah, “mungkin aku hanya bisa mengaguminya dan tidak untuk memilikinya.”
“Kamu gak bisa kayak gini terus dong! Hidup itu indah kalau kamu sadari itu. Jangan buat masa remaja kamu jadi kaku dan penuh kesedihan gini deh. Ayo Sissy! Wake up friend!”
Kata-kata yang meluncur dari mulut Vera memang menarik, namun Sissy jadi tambah tak bersemangat ketika tersadar bahwa Jo telah ada yang memiliki. Kini ia semakin terdiam dalam lembaran pengharapan panjang.
Namun Sissy tetap berusaha bahagia hanya dengan melihat senyum Jo dan mendengar suara nge-bassnya. Hingga saat ini, ia tak habis pikir, bagaimana mungkin ia menjadi fans Jo yang sefanatik ini. Padahal dulu ia sangat membencinya. “Apa Jo pake pelet ya?” Duh, pikirannya mulai ngaco.
Malam itu, seperti biasa bunda masuk ke kamar Sissy untuk menyuruhnya makan. Tapi ia lagi gak mood banget untuk makan.
“Tumben banget kamu gak mau makan? Kenapa? Kamu lagi diet ya?” Tanya bunda curiga. Bunda sangat benci kalau Sissy diet, soalnya lambung Sissy sensitif dan terkadang Sissy tak memperdulikan penyakitnya itu.
Sissy menggeleng, “lagi gak nafsu makan bun. Kalau bunda sama ayah mau makan, duluan aja deh. Nanti aku nyusul.”
“Padahal bunda udah masakin makanan kesukaan kamu tuh. Kalau bukan kamu yang makan, nanti nyisa, terus mubazir lagi.” Ucap bunda menggoda Sissy.
Sissy gak enak banget kalau sampe nolak ajakan bunda yang udah capek masakin untuknya, “tapi bagaimana mungkin aku makan kalau aku sendiri gak nafsu?” Pikirnya. Fiuuuh, akhirnya dengan terpaksa ia melangkah ke ruang makan, demi menghargai bunda.
Selesai makan, Sissy hanya duduk diayunan yang berada disamping kanan rumahnya, tempat itu adalah tempat favoritnya. Ia jadi kepikiran sesuatu, sesuatu yang tak pernah ia lakuakan, curhat sama bundanya tentang apa yang ia rasakan saat ini. Padahalkan seharusnya lebih baik cerita sama orang tua, siapa tau bundanya punya solusi atau sekedar meringankan perasaannya. Tapi semua itu tak berlaku bagi Sissy, ia terlalu malu untuk terbuka sama bundanya.
Dua minggu lagi Ulangan Akhir Semester, tapi Sissy malah sibuk latihan bulutangkis untuk seleksi kejuaraan. Sedari kecil, Sissy udah hobi main bulutangkis sama ayahnya. Karena Jo pula lah, ia masuk klub bulutangkis di GOR dekat sekolah. Setiap dua hari sekali Sissy suka pulang maghrib, dan setiap dua hari sekali juga bundanya selalu ngomel-ngomel padanya. Ia tak senang bila Sissy pulang maghrib seperti itu, alasannya karena itu akan membuat para tetangga mempredikatkan aku sebagai cewek yang badung, gak disiplin, suka main dan beserta tetek bengek lainnya.
Sissy tau kalau niat bundanya memang baik, mana ada sih orang tua yang ingin anaknya diejek seperti itu? Tapi tenyata Sissy nekat untuk ngelakuin semua itu, meski konsekuensinya ia harus siap pasang kuping untuk mendengar semua kemarahan bunda dengan keadaan badan capek dan bau. “Maafin aku bunda.”Lirihnya
Betapa sintingnya Sissy, ia bisa bertahan di klub bulutangkis dengan hati yang tersayat cukup dalam sampai palung hatinya. Melihat Jo bersama ceweknya pacaran sepulang latihan, itu membuat mood-nya gak bagus. Dan sekarang percuma aja ia ikut klub ini. Ia sangat cemburu dan menyesal karena gak nurut sama bundanya. Ia ingin sekali berhenti dan bahkan lenyap dari kehidupan Jo, namun kepalang tanggung, percuma juga. “O my God, help me!” Teriak hatinya.
Esok harinya ada ulangan matematika mendadak. Sialnya Sissy, semalaman ia tidak belajar karena terlalu capek latihan, tak membuka sedikit pun kecuali mempersiapkan buku untuk hari ini. Saat ulangan, ia melirik Vera. Astaga! Vera yang IQnya dibawah aku saja sibuk menghitung dan sepertinya ia bisa menyelesaikan soal dengan mudah. Sekarang Sissy hanya bisa gigit jari dan gelisah. Berharap sebuah keajaiban datang, kalau ia bisa menyesesaikan semua soal hanya dengan hitungan detik.
Bel pun berbunyi, tamatlah sudah riwayat Sissy. Dari lima belas soal yang ada, tujuh soal yang tak ia kerjakan. Ia hanya bisa menyesal, malu, benci pada diriniya sendiri dan menangis di belakang kelas.
Tiba-tiba Sissy mendengar suara langkah seseorang mendekatinya, lalu menjulurkan tangan tepat didepan wajahnya. Ia melirik orang tersebut, “Oh, Vera. Kirain siapa.” Batinnya.
“Aku tau apa yang terjadi sama kamu.” Vera ikut duduk disamping Sissy.
Sissy tak dapat menghentikan laju air matanya. Ia langsung memeluk erat Vera. “Makanya, lain kali itu harus nurut sama orang tua, jangan bandel deh!” Ucap Vera melepaskan pelukan mereka.
“Kamu kan tau kalau aku udah punya keinginan kuat, kudu terlaksana. Aku tuh bertekad banget untuk ikut klub dan siap menerima semua resikonya. Termasuk dapat nilai kecil.” Lirih Sissy.
“Iya, aku tau. Tapi kan kalau itu semua merugikan sekolah kamu, siapa yang mau tanggung jawab kalau kamu sampe tinggal kelas? Kayaknya obsesi kamu untuk PDKT sama Jo itu terlalu ekstrim deh. Ya..semua itu tuh ganggu hidup kamu banget. Kamu jadi aneh.” Terang Vera muncrat-muncrat.
Hal yang paling dibenci Sissy, dalam situasi kayak gini ia malah merasa disudutkan oleh Vera, padahal sebenarnya ia butuh support. “Aku sadar kalau aku bersalah, tapi jangan terus disalahin kayak gini dong!” Sissy ngomel-ngomel dalam hati.
Seperti biasanya Sissy pulang maghrib lagi hari ini dan hujan turun cukup deras. Karena ia tak membawa payung, terpaksa ia harus kehujanan. Ketika ia sedang berjalan dekat gapura menuju rumahnya, tiba-tiba ada seorang nenek yang memayunginya. Anehnya, nenek itu pake baju dan payung warna putih. Ia kira kalau nenek tersebut hendak melayat atau pengajian, tapi setelah berbasa-basi ternyata beliau hendak ke pasar.
“Ya ampun, ke pasar aja pake baju warna putih, apa gak takut kotor ya? Padahal sekarang udah maghrib, gak takut apa? Terus baju bagian bawahnya aja udah kecipratan genangan air gitu. Nenek ini kok gak pernah aku temui sebelumnya ya? Apa dia baru pindah kesini?” Sissy terus bertanya-tanya dalam hatinya.
Akhirnya kami tiba di perempatan jalan, jalan ke rumah Sissy belok ke kiri. Sissy berterima kasih pada nenek itu dan tiba-tiba nenek itu memberikan sehelai foto, lalu melangkah pergi meninggalkan Sissy yang terdiam terpaku.
Betapa kagetnya Sissy saat ia membalikkan kertas foto itu, itu foto Jo. Ia segera melanglah menuju rumahnya. Kekagetannya bertambah ketika melihat Jo membukakan pintu gerbang untuknya. “Kenapa Jo bisa ada di rumahku? Kapan dia kesini? Tadi kan dia ada di GOR sama ceweknya.” Batin Sissy.
Setelah Sissy mendekati Jo, tiba-tiba ia melihat Bi Inah membawa seember air lalu mengguyurkannya ke atas kepala Sissy dan byuuuuuuuuurrrr!!! Lalu Sissy menjerit sejadinya. Ternyata semua itu hanya sebuah mimpi singkat. Mimpi yang aneh bagi Sissy.
Sissy beranjak dari tempat tidurnya, melangkah menuju kamar mandi dan mimpi itu tanpa henti memutar kejadiannya seperti sebuah kaset dalam pikirannya. Sesampainya ia di sekolah, ia tak bisa berkonsentrasi belajar. Khayalannya masih saja dikelilingi mimpi aneh itu. Hari ini ia telah ditegur oleh tiga orang guru karena tak memperhatikan. Vera juga berubah menjadi anak yang pendiam secara tiba-tiba.
Hari ini adalah hari pertama Ulangan Akhir Semester dan aku dengar dari Vera kalau Jo tak masuk. Ini benar-benar aneh, kemarin Jo juga tak latihan. “Tumben banget Jo gak masuk sekolah saat UAS kayak gini. Apa dia sakit? Atau ada urusan yang gak bisa ditinggalin?” Cemas Sissy.
Esok harinya Sissy pura-pura melintas ke ruang 07, ruang untuk kelasnya Jo. Tapi yang ia dapat sama seperti kemarin, ia tak meliahat Jo. Ingin rasanya ia nanyain ke Adit, sahabatnya Jo. Namun rasa malunya mengalahkan rasa ingin tau itu.
Gara-gara kepikiran Jo, Sissy mengisi jawaban pun tak berkonsentrasi. Setelah ia menghapus jawabannya yang salah, ia meniup sisa penghapus yang ada di lembar jawabannya. Secara gak sengaja, ia memuncratkan air ludahnya sedikit. Sissy panik, karena lembar jawaban itu di scan oleh sekolah. Hari itu yang menjadi pengawas adalah Bu Lita, guru PKn. Bu Lita mendekati meja Sissy, lalu melihat lembar jawaban Sissy yang kena cipratan itu. Bu Lita mengangkat lembar jawaban itu hingga tepat didepan wajahnya. Lalu meniup ke arah kertas yang basah itu.
“Tangan kamu keringetan ya? Sampe basah gini kena lembar jawaban. Hati-hati ya, takut gak bisa di scan.” Ucap Bu Lita ramah.
Sissy mengagguk, setelah Bu Lita melangkah lagi. Tawa Sissy pun meledak dalam hatinya. Andai saja Bu Lita tau kalau air tadi adalah air ludahnya, pasti beliau tidak akan meniup kertas jawabannya.
“Ver, hari ini kamu ngeliat Jo gak?” Tanya Sissy saat hari terakhir ulangan.
Jawaban Vera pun semakin mematahkan perasaan Sissy, ia jadi uring-uringan di koridor. “Udahlah Sis, lupain aja Jo. Toh, selama ini juga kamu gak berani untuk menyapanya kan?” Tegur Vera.
“Gak bisa Ver, aku sayang sama dia. Mana mungkin aku bisa lupain dia gitu aja.”
“Kamu yakin sayang sama dia? Bukannya itu hanya obsesi kamu aja? Soalnya dari dulu tuh gak ada kemajuan. Kamu tetap aja terus menanti, menanti, dan hanya menanti.”
“Entahlah Ver, yang jelas aku pengennya dia tau sendiri tentang perasaanku ini.”
“Jangan bodoh deh! Mana bisa dia tau perasaan kamu kalau gak ada yang kasih tau atau kamu ngelakuin sesuatu sama dia, minimal nyapa atau kasih perhatian.”
Sissy terdiam, meresapi kata-kata Vera yang begitu mengena dihatinya. “Aku yakin kalau kita soulmate, pasti dia akan menyadari semuanya.” Harap Sissy.
“Sissy, soulmate itu gak ada. Itu cuma bualan doang dan itu gak mungkin terjadi.”
Sissy heran setengah mati pada Vera, kenapa ia bisa mengatakan seperti itu. Padahal saat SMP dulu ia percaya banget kalau Arif adalah soulmate-nya sejak TK. Dasar tu anak, cepet banget berubahnya.
Sekarang yang bisa Sissy harapkan satu-satunya adalah Jo akan tau perasaan sayangnya selama ini dan gak pernah melupakannya. Meskipun itu peluangnya sangat kecil, secara Jo udah punya pacar.
Pagi itu Sissy pergi ke sekolah tak seperti biasanya, ia ingin sekali lewat ke depan rumah Jo. Namun saat ia berada didekat rumah Jo, ia seakan tersambar petir, dadanya terasa sangat sesak dan matanya enggan berkedip. Ia memandang rumah Jo beberapa menit, berharap semua yang ada dihadapannya saat ini hanya sebuah fatamorgana. Sebuah bendera kuning berkibar tertiup angin di pagar rumah Jo.
Sissy memberanikan dirinya untuk bertanya siapa yang meninggal pada salah satu orang yang melayat. Degup jantungnya semakin cepat ketika pelayat itu menyebutkan sebuah nama, sebuah nama yang selalu ada dihatinya, nama yang membuatnya kagum, nama yang tak asing lagi. Jordy. Ia berlari ke dalam rumah Jo dan ia langsung dipeluk Vera yang ternyata telah berada disana.
Hatinya begitu hancur, sangat hancur melebihi serpihan pecahan kaca. Rasa sayangnya pada Jo tak bisa tersampaikan dari mulutnya sendiri. Vera bilang, Jo mengidap kanker darah. Ceweknya pergi meninggalkan Jo saat Jo koma di rumah sakit. Jo koma ketika hari pertama Ulangan Akhir Semester. Jadi itu alasan kenapa Jo tak pernah lagi masuk sekolah.
“Andai aja aku tau tentang hal ini. Aku pasti akan mengobati patah hati Jo dan aku akan terus menjaganya.” Lirihku menatap tubuh Jo yang terbujur kaku di balik kain kafannya.
Dan yang paling menyedihkan bagi Sissy, ternyata Vera tau tentang hal ini, tapi ia tak memberitahu Sissy karena ia tak mau melihat Sissy sedih lagi.
Sissy tak tau apa yang sekarang terjadi pada hidupnya. Semuanya begitu nyata, semuanya nampak jelas. Tapi ia enggan menerima kenyataan pahit ini, bahwa ia takkan pernah lagi bisa menggapainya.




Faktanya:
Seseorang terkadang menggunakan hal yang tidak logis agar tetap bisa dekat dengan orang yang ia suka. Tidak ada  yang logis dalam hal CINTA.


That's Me
@Rospita_NF (2008)

No comments:

Post a Comment

Silahkan comment UPIL gue dengan kaidah yang baik, tidak OOT, tidak vulgar dan tidak menyinggung SARA. ^^b #okesip