Pages

Search Upil on This Blog

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

Saturday, December 19, 2009

Just Dream


Pagi itu aku sangat gelisah, mondar-mandir di kamar sambil mengingat-ingat mimpi aneh tapi begitu nyata yang aku alami semalam. Berharap mimpi itu takkan hilang dalam memory-ku, aku pun menuliskan alur mimpi itu disehelai kertas kosong.
Saat di sekolah, aku bersikap tak seperti biasanya. Entahlah apa yang terjadi pada diriku, sampai-sampai aku lupa untuk menyisir rambut.
”Ris, kamu kenapa? Tumben banget lupa nyisir rambut kuntilanak kamu.” Tanya Lani, sahabatku.
Memang rambutku yang cukup panjang membuat predikat RaKun alias Rambut Kuntilanak menempel pada diriku. Tapi aku rasa itu lebih baik jika dibandingkan Mona yang diberi julukan RaMat alias Rambut Mati oleh anak sekelas. Karena menurut gosip, rambut Mona sejak SMP tak pernah tumbuh panjang, tetap sebahu.
”Hallooooo, kok malah bengong sih?” Imbuh Lani sambil memetik-metik jarinya didepan wajahku.

”Aku mimpi aneh semalem, aku mimpi ketemu Dito. Kamu tau kan kalau Dito itu bagian dari masa laluku yang terpendam?”
Lani mengangguk serius, ”dalam mimpi itu aku dan dia ngobrol banyak. Ketika aku tanya soal hubungan sama pacarnya, dia malah bilang hal yang aneh, aku disuruh nungguin dia tanggal sembilan Januari ditempat ini. Terus aku bangun deh!” Tambahku panjang lebar.
”Emangnya kamu ketemu sama Dito dimana?” Tanya Lani dengan tampang serius.
Aku menggeleng, ”yang aku inget, tempatnya tuh sepi, sepiiii banget! Disitu cuma ada aku dan Dito. Sebuah kursi, kolam ikan dan banyak pepohonan, seperti taman, tapi aku gak tau taman itu ada dimana. Soalnya yang aku ingat tuh, aku gak pernah pergi ke taman itu sama Dito sebelumnya.” Lirihku.
Aku menguras semua isi otakku, berusaha mengingat-ingat masa SMP ku ketika PDKT sama Dito, berharap menemukan dimana taman itu sebenarnya. Dan aku ingin pergi ke taman itu, aku kangen banget sama Dito. Perasaan kangen yang sudah aku tabung sejak kehilangan Dito.
Huff, sial! Aku tak mengingat taman itu. Yang aku ingat hanya saat SMP ku dulu bersama Dito. Dito selalu membuatku tersenyum setiap hari, dia yang selalu menyinari hari-hariku.

* * *

Suatu pagi Lani datang ke kelasku untuk meminjam buku bahasa Inggris, ia lupa mengerjakan PR. ”Dasar tuh anak, kerjaannya pikun melulu,” seruku agak dongkol.
Tapi meski begitu, entah kenapa aku selalu saja meminjamkan PR ku padanya. Mungkin karena aku iba padanya atau karena ia adalah my best friend. Terkadang aku berfikir, kayaknya aku diperalat Lani deh, dengan embel-embel persahabatan.
Pelajaran bahasa inggris di kelasku setelah istirahat, jadi saat istirahat aku datang ke kelas 8-b, kelas Lani. Tapi, ada insiden kecil yang membuat pundakku sakit seharian.
Saat aku akan masuk, ada cowok yang akan masuk kelas juga. Karena pintu kelas itu hanya terbuka satu pintu doang, pundakku tabrakan dengan pundak cowok itu. Sebagai cowok, ia mengalah, aku rasa ia menganut faham cowok gentleman, ’ladies first’. Lalu aku masuk duluan dan menemui Lani. Entah kenapa, aku kok jadi CPCP (curi pandang cari perhatian) sama cowok tadi. Dan bertanya pada Lani siapa cowok tadi.
”Oh, dia itu namanya Dito. Anak yang lumayan jail juga di kelas.” Ucap Lani.
”Lucu juga ya?” Gumamku.
”Lucu darimana? Aduuuh, resenya amit-amit tau.”
“Mukanya baby-face tau. Lihat deh, cakep kan?“ Ujarku sambil terus CPCP.
Dito tak melirikku, dia masih tetep fokus bercanda-bercanda sama anak cowok yang lain. Dan aku tak berhenti curi-curi pandang padanya, sampai ia balas melirikku.
Perasaan itu membuatku hampir gila, aku jadi doyan senyum-senyum sendiri di kamar. Jadi ngerasa ada semangat dan jiwa baru dihidupku.
Perasaan dahsyat yang pernah Tuhan berikan untukku. Perasaan yang selalu datang setiap jam, setiap menit, bahkan setiap detik. Perasaan yang selalu mendebarkan kerja otot jantungku, membuatku sulit bernafas saat menatap Dito lekat-lekat. Perasaan itu juga yang datang tak dijemput, pulang tak diantar bagaikan jelangkung. Perasaan yang ku rasakan saat ini adalah CINTA.
Aku jatuh cinta pada Dito. Dia membuat hatiku tenang, indah dan berwarna bagai pelangi.
MeJiKuHiBiNiU, warna merah melambangkan perasaan yang berani, berani untuk mencintai seseorang. Kuning melambangkan cahaya, cahaya cinta yang menyinari hatiku. Hijau melambangkan alam, tempat yang membuatku semakin jatuh cinta pada Dito saat kita kemah bareng. Biru melambangkan bahwa aku jatuh cinta pada Dito saat SMP, berseragam biru. Ungu, melambangkan ketenangan, aku merasakan ketenangan saat membayangkan wajah Dito. Mungkin hanya warna-warna itu yang mewakili perasaan hatiku saat ini.
Bagaikan melayang di udara dan tak ingin turun lagi. Karena aku ingin merasakan kebebasan dan tak ingin bersedih lagi. Happy, happy dan happy yang kini hadir mengisi sudut-sudut hatiku yang dulu dipenuhi kesunyian.
Ternyata bukan hanya aku yang mencari tau tentang Dito. Tapi Dito pun begitu, ia mencari tau tentang aku pada Lani. O my god, ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan atau sebelah hati atau setengah hati seperti ada band.
Sekarang Lani sebagai mak comblang, ia sebagai penengah alias pengantar pesan antara aku dan Dito. Setelah hal itu berjalan cukup lama, kita sama-sama suka. Tanpa ada peresmian atau tanggal jadian, aku dan Dito pacaran begitu aja. Aneh kan? Pacaran tanpa tanggal jadian. Tapi itu gak jadi masalah tuh. Soalnya bagiku dan Dito kalau setiap hari adalah hari jadian. He..he...
Kebahagiaanku semakin bertambah dari hari ke hari. Dito semakin membuatku merasa berarti dimatanya. Setiap hari, kita ngobrol, gokil-gokilan, pokoknya kita berdua tuh membuat sweet memory sebanyak-banyaknya. Supaya dapat jadi kenangan yang sangat amat indah sepanjang hidup. Meskipun semua itu hanya cinta monyet.
”Lani sahabatku yang paling caem dan baik hati, thanks banget ya. Kamu udah buat hidupku jadi lebih bermakna dan menyenangkan.” Ujarku.
”Widiiiiiihh....sekarang aja baru muji-muji kesaktianku sebagai mak comblang. Dulu aja kamu selalu ledekin aku.” Jawabnya.
”Maaf deh soal ledekan itu, lagian kan itu waktu kita masih kecil.” Sahutku.
”Ya ampun Rista, pikun kamu tinggi juga ya. Kamu kan ledekin aku tiga bulan yang lalu. Jadi selama kamu deket sama Dito itu masa dewasa kamu?”
”Ya gak gitu juga sih. Tapi sekarang, aku jadi lebih bersyukur pada Tuhan. Karena aku udah punya sahabat dan pacar yang baik banget.”
”Bagus deh kalau kamu udah mulai ninggalin kechildishan kamu.“
Esok harinya, seperti biasa aku datang ke kelas Lani untuk mengajaknya ke kantin, sekaligus melihat Dito, pujaan hatiku. Lebay deh!
Tapi ternyata yang aku dapat adalah sesuatu yang cukup mengecawakan, aku tak melihat sedikit pun batang hidung Dito. “Dito hari ini gak masuk, tumben banget tu anak tanpa ada surat atau kasih kabar ke sekolah.“ Ucap Lani.
Dito tak masuk sekolah, gak kasih tau sama aku lagi, tega banget sih. Huh!
Sepanjang hari itu aku terdiam, termenung, khawatir, cemas, deg-degan, gelisah menunggu kabar dari Dito. Dan terus berharap kalau Dito akan balik menelponku, dia akan tau apa yang aku rasakan saat ini, berharap kalau aku sama Dito memang soulmate.
Saat tadi aku menelponnya, tak ada yang mengangkat telponku. Dimana Dito sekarang? Apa dia baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku gak akan kehilangan Dito kan? Aku jadi paranoid dan dihantui hal-hal negatif.
Saat aku bangun dari tidur siangku, aku melirik jam digital diatas meja kecil disamping lemari buku, jam empat sore. Aku bangkit dengan lesu, mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi. Tujuh belas menit kemudian, aku melihat ponselku. Tampak dilayar ponsel ada dua puluh tujuh miscall. Setelah kubuka, semuanya dari Dito.
Ya ampun, betapa bodohnya aku. Kenapa aku tak mengganti mode silentnya. Langsung saja aku balik menelponnya. Sial! Pulsaku habis gara-gara tadi menelpon Lani.
Uh!! Aku sangat menyesal dan marah pada diriku sendiri.
“Pasti Dito tadi butuh banget bantuanku atau dia kangen sama aku atau dia juga pengen ngabarin soal keadaannya. Huft! Tak ada gunanya juga aku sekarang menyesal. Toh, semuanya juga udah kejadian,” dengusku.
Sudah dua minggu Dito tak masuk sekolah, dia hanya mengirimkan surat dokter. Tapi aku tak tau Dito sakit apa dan separah apa sampai tak sempat mengabariku dan menerima telponku.
”Ris, kamu belum dapet kabar ya dari Dito?”
Aku menggeleng lesu, ”Aku kangen banget sama senyuman dia Lan.”
”Mungkin aja dia emang lagi ada urusan yang penting. Tapi dia belum bisa kabarin kamu.”
”Tapi dia bisa kan hubungi aku? Dia kan punya Ponsel, kalo gak punya pulsa kan masih ada telpon rumah atau wartek. Yang penting bisa kabarin aku.” Aku mulai menaikkan nada bicaraku.
”Kamu ngertiin dia sedikit kenapa sih? Kamu gak tau kan apa yang terjadi sama dia sekarang?”
”Emangnya kamu tau?” Aku mendekat ke wajah Lani.
Lani memundurkan badannya, ”Aku emang gak tau, tapi siapa tau aja sekarang keluarganya lagi kesusahan, terus hpnya dijual dan dia terjebak di hutan, jadi gak ada wartel atau telpon rumah.”
”Lani!! Bisa gak sih kamu gak bercanda dalam kondisi kayak gini?” Teriakku.
”Lagian kamu juga sih, terlalu parno. Tunggu aja deh, sabar dulu. Kalo pun dia kangen sama kamu, nanti juga dia akan balik lagi. Percaya deh sama aku.” Ucap Lani sambil memelintir rambut bawahnya.
“Dari sikap Lani yang kayak gitu aja, aku udah tau kalo dia gak yakin sama ucapan terakhirnya.” Tambahku dalam hati.
Rasa gelisah itu semakin hari semakin klimaks. Satu minggu kemudian, Lani membuatku terheran-heran setengah mati, ia datang ke kelasku dengan tersengal-sengal, nafasnya tak teratur. Ia seperti habis lari maraton atau dikejar hantu. Meski aku gak tau apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Disela-sela nafasnya, ia mengatakan kalau Dito sekarang ada di ruang guru.
Refleks, aku langsung berlari keluar kelas, melewati anak-anak yang sedang bermain di depan kelas, menabrak penjaga sekolah, hampir terpeleset di depan labolatorium dan sampailah aku akhirnya di ruang guru.
Didepan ruang guru hanya ada Pak Topik, seorang guru ekonomi yang berpenampilan aneh menurutku. Memakai sabuk warna coklat bertulis-kan ’Tersayang’, ya ampun! Itu kan judul sinetron saat aku masih SD. Memangnya masih ada yang jual ya pak? Penampilan yang jadul dan sangat culun jika dipakai dizaman sekarang.
”Permisi Pak, boleh tanya gak?”
”Ada apa Rista? Kamu kok lari tunggang langgang seperti itu, kayak dikejar rampok aja.” Jawab Pak Topik panjang.
”Pak, lihat Dito gak? Anak kelas 8-b itu.” Tanyaku cepat.
“Oh, yang tadi datang kesini ya?” Sahutnya.
Aku mengangguk tegas, ”dia kemana pak? katanya tadi ada disini? Memangnya benar begitu Pak?”
”Baru aja tadi Dito sama ayahnya diantar Pak Hidayat ke gerbang sekolah. Denger-denger sih dia mau pindah sekolah.”
Aku terpana sejenak, mematung dalam beberapa detik seperti ada yang menghipnotis.
”Emang kenapa? Apa hubungannya sama kamu?” Tanya Pak Topik lagi.
”Dasar bawel.” Pikirku.
Aku tak menggubris pertanyaan itu, aku melanjutkan ekspedisiku, mengejar Dito ke gerbang. Aku sudah tak memperdulikan rambut kuntilanakku yang acak-acakkan karna diterpa angin, nafas yang hampir habis, kaki yang pegel karena menuruni banyak tangga.
Namun, lagi-lagi kekecewaan yang aku dapatkan. Tak ada Dito, ayah Dito atau pun Pak Hidayat di gerbang sekolah. Disana hanya ada Pak Ridho, satpam sekolah yang mengelus-elus kumis tebalnya, bersikap sok gagah menurutku, padahal badannya kan kerempeng.
Tamatlah sudah cerita cintaku, semuanya berakhir dengan kesedihan yang amat mendalam dihatiku. Tak ada alasan yang terlontar sepatah kata pun dari mulut Dito. Ia pergi meninggalkanku, entah kemana, dan kapan ia akan kembali lagi.
”Kenapa semuanya jadi kayak gini? Apa aku ditakdirkan untuk selalu sedih dan kesepian. Dito yang ku anggap sebagai cinta sejatiku sekarang pergi entah kemana. Aku gak tau mau nyari dia dimana. Harapanku satu-satunya hanya bertemu sama dia secara sengaja atau gak, ditempat yang direncanakan atau gak. Yang pasti aku ingin menyapanya, bercanda dengannya, melihat senyum manisnya dan tatapan matanya yang selalu meluluhkan hatiku.” Harapku dalam hati sepanjang jalan menuju kelas yang berada di lantai dua.

* * *

Kini hari-hariku sepi, sekarang aku sudah kelas 2 SMA pun tak ada kabar dari Dito. Aku sudah menunggunya hampir dua tahun. Rasa kecewa ini terus aku simpan, rasa penasaran ini terus aku pendam, aku menahan semua beban ini. Mencoba melupakannya, hasilnya malah sia-sia. Apa aku terlanjur cinta seperti Rossa? Atau mungkin ini yang namanya ujian cinta? Selama ini kah? Ya Tuhan, tabahkan lah hatiku. Berharap, menunggu dan menanti, itulah yang kini dapat ku lakukan untuk Dito.
Libur semester tiba, aku liburan di rumah familyku di Bandung, tentu saja aku mengajak Lani. Karena tanpa Lani, aku gak akan dapat ijin mama dan karena Lani adalah best of the best friend bagiku. Dan kita berangkat kesana tepat dihari pertama libur.
”Lan, pergi keluar yuk! Bosen nih di rumah melulu dari semalem.” Ajakku.
”Ya udah, tapi kan aku gak hafal jalan di Bandung. Kalau kita nyasar gimana?”
”Ya ampun! Susah banget sih, aku tau kok tempat yang asik disini. Aku juga hafal jalannya, kayak baru pertama kali aja deh.”
”Iya deh, maklum aja, aku kan bukan penguasa jalanan kayak kamu.” Ledek Lani.
”Ye...sialan!! Kamu fikir aku preman apa, penguasa jalanan.”
Akhirnya, setelah pergi ke toko CD dan book store, aku dan Lani makan siang di kafe deket book store itu. Tiba-tiba Lani mengagetkanku yang sedang asyik memilih-milih makanan di buku menu.
”Ris, aku tadi lihat Nabil sama ayahnya.” Ucap Lani.
”Nabil? Nabil siapa?”
”Nabil sepupunya Dito, dia tadi sama ayahnya. Inget kan sama Nabil?”
Aku mengangguk, ”Nabil yang suka bareng-bareng terus sama Dito kan?” Ucapku ragu.
Lani menatap wajahku yang bingung, ”mungkin aja sekarang Dito juga ada disekitar sini.” Tebak Lani.
Aku melirik ke segala penjuru kafe. Tapi aku tak melihat Dito sedikit pun. Malang banget sih nasib aku. Aku gak terlalu percaya sama Lani, karena dia sering salah lihat orang yang menyebabkan aku malu.
”Ris, sekarang tanggal berapa?” Tanya Lani.
”Tanggal delapan, emang kenapa Lan?”
”Besok tanggal berapa?”
Ya ampun! Besok kan tanggal sembilan Januari, tanggal dimana Dito minta aku nunggu dia di taman misterius itu. Aku tak perduli tempat itu ada dimana, yang jelas ada secercah harapan untukku.
Besoknya aku sangat deg-degan dan tak sabar ingin segera ketemu sama Dito. Dengan harap-harap cemas aku pun berdandan lebih lama dari biasanya dan berusaha untuk perfect di hari ini.
”Kamu mau kemana sih? Kok tumben sih cakep banget?”
”Dasar bawel. Kamu lupa ya? Dito kan udah nunggu aku.”
”Kamu belum gila kan? Dito nunggu kamu? Dimana?”
”Di taman misterius itu.” Jawabku sambil terus merapikan poniku.
”Itu kan cuma mimpi kamu Ris. Kamu yakin kalo kamu bakal ketemu sama Dito?” Lani memegang dahiku dengan punggung tangan kanannya.
”Apaan sih Lan. Aku serius tau.”
Lalu Lani beranjak dari tempat dia duduk tadi, keluar kamarku dengan jadi telunjuk dimiringkan didahinya. Dia meledekku sudah sinting. Tapi aku tetap percaya pada kekuatan mimpi itu, karena apa yang aku lihat dalam mimpi itu begitu nyata.
Tiba-tiba aku berada disebuah taman misterius itu lagi, aku duduk di kursi itu sama Dito, memperhatikan kolam ikan seolah kolam ikan itu tontonan yang menarik.
Hatiku bahagia banget, lalu aku tanyain soal kemarin aku melihat Nabil dan ayahnya. Tapi Dito hanya diam, memegang tanganku dan bernyanyi kecil. Aku gak tau apa yang sedang ia nyanyikan, tapi kedengarannya begitu indah.
Dito beranjak dan menyuruhku berdiri. Lalu menarik tanganku ke arah cahaya. Cahaya yang sangat menyilaukan, terang banget dan seperti menikam retina mataku. Setelah itu ada yang memukul kepalaku dari belakang, entah siapa, rasanya sakit banget, dan aku gak sadarkan diri.
Ketika aku membuka mata, tampak semuanya buram. Aku berada dikamar bersama Lani. Ternyata pertemuan itu tak nyata, aku tak benar-benar ketemu sama Dito. Namun, aku bersyukur karena sudah diberi kesempatan untuk bertemu Dito, meski itu hanya mimpi.

No comments:

Post a Comment

Silahkan comment UPIL gue dengan kaidah yang baik, tidak OOT, tidak vulgar dan tidak menyinggung SARA. ^^b #okesip