Pages

Search Upil on This Blog

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

Friday, February 21, 2014

Gadis Itu dan Sang Lelaki: sebuah perpisahan(?)

“Kamu tahu gak kalau orang kecelakaan itu sakitnya bukan beberapa saat atau beberapa jam setelah kecelakaan, tetapi keesokan harinya?”

Gadis itu menyentuh tombol back, sms tersimpan sebagai draft. Kini ia dalam keadaan sadar, fisiknya. Tetapi, pikirannya? Masih belum sadar sepenuhnya. 

*  *  *

Beberapa jam yang lalu, gadis itu baru saja menemui kekasihnya. Mereka berpacaran baru seumur jagung, baru 6 bulan, ia baru move on dari mantannya semenjak dengan pacarnya itu, dan pacarnya baru sadar bahwa ia tidak terlalu mengenal apa-apa tntang gadis itu bahkan setelah 6 bulan itu, semuanya berbau ‘baru’. Baru dan baru.

Mengapa mereka bertemu? Tentu saja karena ada sesuatu hal yang perlu diluruskan, diselesaikan, dan dibicarakan, bukan sekedar ditulis di chat whatsapp atau bbm atau DM. Sudah 6 hari sang lelaki tidak memberikan kabar sepatah kata pun kepada gadis itu. Ia gusar, apapun yang dilakukan, percuma. Konsentrasi selalu buyar, tak ada lagi suasana fokus ketika membaca buku atau menulis bahan untuk blog. Ia ingin sekali menemui lelaki itu, secepatnya. Ia bukan tipe orang yang ingin menunda masalah, tetapi apa daya sang lelaki tipe orang yang senang menunda masalah. Entah karena tidak ingin menyelesaikan hari itu karena takut terbawa emosi atau karena memang menenangkan pikirannya dulu atau sengaja menghindar.

Sore itu, di sebuah taman. Gadis itu ingat betul, sang lelaki datang dalam keadaan yang 'enggak banget'. Rambut gondrong tak rapi, muka lecek bukan lagi seperti baju belum disetrika, tetapi lebih tepat seperti baju kotor yang ditumpuk di cucian kotor, dan tentu saja bau rokok yang melekat erat di jaket jeans yang dulu dibeli sebelum pergi ke pantai bersamanya. Tampaknya selama masa 'hilang komunikasi', sang lelaki tak pernah mandi, hanya mencuci muka ala kadarnya. Lengkap sudah kekesalan dalam hati gadis itu. Benar-benar tak seperti yang ia harapkan. Sudah berulang kali ia mengatakan kepada sang lelaki untuk mencukur rambutnya, karena memang kenyataannya sang lelaki terlihat lebih tampan dengan rambut rapi, tak seperti saat itu. Rambut rapi yang membuatnya seperti merasakan jatuh cinta lagi.

Andai sang lelaki memahami itu lebih cepat, andai sang lelaki tidak lamban dalam menangkap kode itu, dan andai lelaki itu bisa memegang serta mempertanggungjawabkan setiap penggalan kata-kata yang diucapkannya. Dan ternyata gadis itu hanya bisa berandai-andai, bahkan ketika sebuah penyesalan yang menjadi penyelesaian masalah sepele itu. PUTUS. Kemudian percakapan ‘seolah baik-baik saja’ itu pun terjadi.

“Bolehkah aku tetap memanggilmu dengan sebuatan sayangku seperti biasanya?”
“Tentu saja, itu terserah kamu. Tapi, aku tidak akan melakukannya lagi.” 
“Bolehkan aku main ke rumahmu?”
“Tentu saja, selama aku ada di rumah dan belum pindah rumah.”
“Bolehkah jika suatu saat nanti aku mengajakmu makan bersama?”
“Tentu saja, selama aku ada waktu.”
“Pasti kamu tidak akan menyempatkannya.”
Gadis itu hanya tersenyum datar seolah berucap “who know?”.
"Dan bisakah kau menungguku selama 10 tahun? Aku akan datang untuk melamarmu. Tentu saja ketika aku sudah menjadi ‘orang’?"
“Jika kau datang 10 tahun lagi, mungkin aku sudah memiliki anak.”
“Baiklah, bagaimana dengan 5 tahun?”
“Mungkin aku sudah dilamar orang lain.”
Sang lelaki hanya terdiam, sedang gadis itu mulai beranjak meninggalkan sang lelaki yang mematung di bawah pohon di taman itu. Seperti awan yang terdiam menyaksikan matahari kembali ke peraduannya. Gadis itu memang tak pernah ingin lagi mendengarkan janji manis sang lelaki, cukup sudah hatinya hampir menderita diabetes (jika memang hati bisa mengidap diabetes). Bukan karena tidak pernah mempercayainya, tetapi percaya barang sekali atau dua kali sudah cukup bukan? Sudah cukup ketika dipatahkan kepercayaannya itu. Wanita mana yang ingin lelakinya terus mengulang kesalahan yang sama? Sepertinya hampir semua wanita akan berkata 'tidak ada'.

*  *  *

Hari pertama pasca berpisah. Semuanya terlihat baik-baik saja, gadis itu tetap bercanda tawa bersama teman-temannya. Hidupnya berjalan normal seperti sebelum sang lelaki itu hadir. Bahkan ia masih menikmati film-film yang berbau cinta tanpa merasakan sakitnya kenangan.

Hari kedua pasca berpisah. Gadis itu terus saja melirik chat whatsapp, apakah ada pesan dari sang lelaki, apakah sang lelaki itu online, atau apakah sang lelaki itu baik-baik saja? Hidupnya mulai sedikit gusar meski ia masih saja tetap bercanda tawa bersama teman-temannya. Canda tawa yang menyamarkan kesedihan. Kesedihan yang tak tertangkap oleh teman-temannya melalui mata sang gadis.

Hari ketiga pasca berpisah. Gadis itu makin sering melirik chat whatsapp, semakin sering mempertanyakan apakah ada pesan dari sang lelaki, apakah sang lelaki itu online, atau apakah sang lelaki itu baik-baik saja? Hidupnya benar-benar gusar, kesedihan yang ia samarkan sedikit terlihat oleh teman-temannya. Tetapi, ia masih menghindar dan tidak mengakui kesedihan itu. Ia memilih untuk memendam semuanya dalam peti bernama “rahasia hati perempuan”. Memutar lagu Big Big World milik Emilia, berulang-ulang, mencoba menegarkan hati. Ia juga ingin sekali ia mengirimkan lagu When You’re Gone milik Avril kepada sang lelaki. Tapi apa daya, gengsi gadis itu terlalu tinggi. Sampai akhirnya, bunyi notifikasi chat whatsapp terdengar dari handphone gadis itu, sang lelaki itu muncul. Tuhan Maha Mendengar, Tuhan Maha Baik, Tuhan memang tidak tidur, segala macam doa syukur dipanjatkan gadis itu.
“Belum tidur?”
“Belum bisa tidur.”
“Lagi ngapain?”
“Baca buku. Kamu?”
“Main gitar. Mau aku nyanyiin nggak supaya kamu bisa tidur?”
Ah tidak, itu kebiasaan lama mereka. “Boleh, tapi aku boleh request lagunya?”
“Boleh. Apa?”
“When You’re Gone dari Avril Lavigne.”
“Aku gak tahu lagunya. Hehe…”
Gadis itu akhirnya memutuskan untuk mengirimkan lagunya.
 
Beberapa saat kemudian, sang lelaki itu mengetik“aku kangen kamu.”
Lama sekali gadis itu tidak membalas chat sang lelaki, ia berada diantara rasa senang dan rasa tidak percaya. "Apa yang harus aku lakukan?" Bagaimana mungkin rasa aneh ketika orang sedang pendekatan itu muncul kembali. "Aku harus membalas apa?" Gusar betul. Berkali-kali meremas boneka di tangannya lalu menatap cermin, memantapkan hati. Akhirnya,“Me too” adalah jawaban dari gadis itu. Ia mengalahkan rasa gengsinya. Sang lelaki telah meluluhlantahkan hati gadis itu. Hati yang kemarin penuh amarah, hati yang digantung selama 6 hari itu, buyar hanya sebuah kalimat ‘aku kangen kamu’. Ah sesederhana itukah? Atau memang selama ini gadis itu saja yang menyulitkan semuanya?

Hari keempat pasca berpisah. Gadis itu melirik chat whatsapp, lagi dan lagi. Tidak ada chat dari sang lelaki sejak pagi sampai jam makan malam. Ia mulai mengutuki dirinya sendiri, bagaimana mungkin ia bisa sebodoh itu termakan harapan yang ia buat sendiri? Entah bisikan dari mana, malam itu juga, pukul 23.00, tanpa memikirkan rasa takut atau rasa cemas sebagai seorang gadis, gadis itu memutuskan untuk menemui sang lelaki.

“Aku di depan rumah kamu, aku mau ambil kacamataku dan uang nonton yang kamu pinjam. Tolong keluar ya.” Begitu bunyi pesan yang gadis itu kirim kepada sang lelaki. Ah, alibi.

Beberpaa saat kemudian, lelaki itu muncul. Sama seperti ketika ia melihat sang lelaki itu terakhir kali, tidak ada semangat hidup, rambutnya masih berantakan, tak terurus, seperti belum mandi beberapa hari, dan tentu saja masih menggunakan kaos oblong serta celana kolor bola Totenham Hotspur, klub bola favoritnya.

“Maaf, aku belum sempat ke tempatmu. Aku sakit selama beberapa hari.” Kalimat itu membuka percakapan malam itu. Sang lelaki memberikan kacamata dan uang kepada gadis itu.

“Yaudah, aku pulang ya.” Sang gadis tak kuasa menatap mata sang lelaki, ia masih mengenakan helm dan hampir menyalakan motornya.

“Eh tunggu dulu. Kamu enggak apa-apa kan?” Pertanyaan menohok. Lengan kanan gadis itu ditarik oleh sang lelaki. Sang lelaki ingin sekali menatap mata gadis itu.

Suara “sroot” dari hidung gadis itulah penyebab utama pertanyaan menohok itu muncul. “Enggak apa-apa, aku hanya sedang pilek.” Tangan kiri gadis itu mencoba melepaskan tangan sang lelaki dari lengan kanannya. 

“Tunggu dulu. Kamu beneran baik-baik saja? Baik-baik saja bagi perempuan, biasanya bermakna sebaliknya.”

Detik itu juga, hujan yang tak terbendung lagi keluar dari mata gadis itu. Bukan lagi menetes, tapi mengalir lancar tak tertahankan. Dan tebak apa yang sang lelaki itu lakukan? Tentu saja sang lelaki itu memeluk erat gadis itu. Sang lelaki tidak pernah tahan dengan tangisan gadis itu, ia berusaha menenangkan tangisan gadis itu.

Setelah tenang, akhirnya mereka berbicara dari hati ke hati. Membahas masalah yang sebenarnya sepele itu dan saling ingtrospeksi diri. Malam itu, ke-childish-an mereka terbayar sudah. BALIKAN.
sumber gambar

Apakah cerita ini selesai sampai di situ? Tentu saja tidak. Siapa yang memulai cerita, ia harus siap untuk mengakhiri cerita. Cerita ini masih pending, belum berakhir. Tidak ada cerita yang tidak memiliki akhir. Itu sudah menjadi takdir dan memang seharusnya seperti itu. Entah akhir yang bahagia atau sedih. Semua masih tanda tanya. 

No comments:

Post a Comment

Silahkan comment UPIL gue dengan kaidah yang baik, tidak OOT, tidak vulgar dan tidak menyinggung SARA. ^^b #okesip