Pages

Search Upil on This Blog

Protected by Copyscape Duplicate Content Detection Software

Tuesday, April 20, 2010

Misteri Hati


“Inget Din, hati seseorang emang gak ada yang tahu kayak gimana. Hati itu bisa aja gak konsisten, hari ini bilang ‘A’, mungkin aja besok jadi ‘B’, ya kan?”
Kata-kata Ocha tadi siang sekan menghantui fikiran Dinda. Sejak ia dikecewakan oleh cowok untuk yang kedua kalinya. Ia tak pernah lagi percaya dengan mulut manis cowok.
Semua berawal ketika kelas dua SMP Dinda menyukai Fido, salah satu cowok termanis di sekolah. Pada mulanya ia hanya kagum, namun ternyata ia malah jatuh cinta pada Fido dan akhirnya jadian saat kelulusan SMP. Hubungan mereka pada mulanya adem ayem, penuh cinta, kasih sayang, pengertian dan rayuan gombal Fido. Tapi lama-lama Dinda mulai ilfeel dengan kebiasaan buruk Fido yang pelupa dan keras kepala.
“Fido, hubungan kita cukup jadi temen aja ya?” Pinta Dinda.
“Lho! Kamu kok bilangnya gitu? Emangnya kenapa?”
“Kayaknya aku udah gak tahan sama sifat buruk kamu.”

“Ya udah kalau itu emang keputusan kamu, aku juga gak bisa egois sama diri aku sendiri. Tapi satu hal yang harus kamu inget, kalau nama kamu akan tetap aku kenang selalu. Karena kamu adalah separuh nyawaku. Jangan pernah lupain semuanya ya!” Fido menatap tajam mata Dinda. Dalam mata itu, Dinda bisa melihat ketulusan cinta orang yang pernah membuatnya merasa berharga itu.
Setahun telah berlalu, namun ternyata kalimat terakhir Fido tertancap dalam di hati Dinda, bahwa ia benar-benar tak bisa melupakan semua kenangannya bersama Fido.
“Din, kamu kok jadi kayak gini sih?” Syila memetik jari didepan wajah Dinda, seperti kebiasaannya,
“Kayak gini gimana? Aku jadi gak ngerti.” Jawab Dinda sambil terus menatap dengan pandangan kosong,
“Bisa gak sih kalau saat cinta pergi ninggalin kamu, kamu gak ikut pergi bersamanya? Ayolah Din, jangan biarin hidup kamu juga kosong seperti mayat hidup yang gak berarti.” Fini menepuk pelan bahu Dinda untuk menyadarkan sahabatnya itu.
“Aku juga gak ngerti sama perasaanku sekarang. Dulu aku ilfeel banget sama dia, tapi kalau aku ngeliat perubahan sikap dia sekarang. Aku jadi kangen sama masa-masa dulu.”
Sudah bosan rasanya Fini, Syila dan Ocha mendengar kata-kata Dinda yang kangen sama masa lalunya. “Dia udah gila ya? Waktu kan gak bisa di balikin lagi, lagian kalau pun disesali juga gak ada gunanya. Semua udah terjadi.” Batin Ocha.
* * *
Dinda setengah berlari sepulang sekolah, pipinya yang sedikit chubby mulai terbasahi oleh tetesan air yang keluar dari sudut matanya. Ketiga sahabatnya membuntutinya dari belakang dengan nafas yang tesengal-sengal dan memasang wajah heran. Terkadang saling pandang, seolah berfikir ‘Dinda kenapa sih?’
Dinda menghentikan langkahnya disudut gang, kemudian menoleh ke belakang lalu melanjutkan langkahnya dengan berlari. Dinda mulai kelelahan dan wajahnya berubah pucat. Spontan! Dinda terkulai diatas aspal yang panas karena siang itu matahari besinar sangat terik. Sedangkan ketiga sahabatnya berteriak histeris hampir serentak dan segera membawa Dinda kw rumah Ocha yang tak jauh dari tempat Dinda pingsan.
Lima menit kemudian, mereka semakin gelisah karena Dinda yang tak kunjung siuman. Padahal Ocha telah membuatkan teh manis, Syila yang sejak tadi menggosokkan minyak angin ke kepala Dinda yang membuat Fini mual.
“Dimana nih?” Tanya Dinda memegang kepalanya.
“Nih, minum teh manis dulu.” Ocha segera menyodorkan teh manis. Dinda meneguknya sedikit.
“Lo ada di kamar Ocha, tadi lo pingsan.” Terang Fini dengan suara aneh karena menutupi hidungnya agar bau minyak angin itu tak tercium olehnya.
“Din, tadi kenapa lo lari-lari gitu?” Syila memulai topik.
“Kayak abis ngeliat setan aja.” Timpal Fini.
Dinda tak segera menjawab, ia hanya memandang langit-langit kamar Ocha dengan pandangan yang kosong seolah mengingat sesuatu.
* * *
Bel sekolah berbunyi, Dinda membereskan bukunya, kemudian melangkah lesu keluar kelas sambil bengong.
“Din, hari ini jadi beli buku gak?” Tanya Ocha mengagetkan lamunan Dinda itu.
Dinda menggeleng, “gue lupa, ternyata hari ini gue udah janji sama nyokap mau bantuin bikin brownies ketan item. Lain kali aja deh Cha.”
Ocha berhenti didepan kelas Syila dan Fini, melihat ke dalam kelas, memandang ke seluruh sudut kelas, Fini dan Syila tak ada disana. Lalu ia melirik ke arah Dinda yang berhenti di ujung koridor.
“Hai Rasta, mau aku anterin gak?” Fido menawarkan diri bak seorang pelayan.
“Gak perlu kok, aku mau pulang bareng Syasi aja.” Rasta kembali memasang wajah cueknya.
“Kamu gak tau? Syasi kan udah pulang bareng Rama tadi.” Fido mengeluarkan senyum manisnya yang Rasta anggap sebagai senyum kuda.
“Ah, kamu jangan bohong deh. Aku kan udah janjian mau pulang bareng hari ini.” Elak Rasta.
“Kalau kamu masih gak percaya, liat aja ke kelasnya. Pasti gak ada Syasi.” Fido meyakinkan.
Dinda yang ketika itu baru baru keluar dari koridor hanya tersentak seketika seperti orang yang terkena stroke. Seolah dunia akan kiamat dan jantungnya berdetak cukup kencang. Cukup lama ia terdiam sampai akhirnya ia mencoba melangkahkan kakinya melewati parkiran tempat tadi Rasta dan Fido bercengkrama dengan hati yang teriris. Fikiran Dinda hanya tertuju pada kejadian tadi.
* * *
Perubahan sikap Dinda yang dingin dan tertutup hari ini membuat ketiga sahabatnya khawatir. Setelah Dinda tak merasakan pusing, ia beranjak dari tempat tidur polkadot itu. Ia enggan berbicara kecuali ‘Terima Kasih’ yang terlontar dari mulutnya.
“Cha, Dinda kenapa sih?” Tanya Fini setelah Ocha mengantar Dinda ke pintu depan.
“Iya Cha, kan tadi lo doang yang bareng sama Dinda.” Timpal Syila.
“Em... sebenernya tadi Dinda...” Ocha jadi terbata-bata seperti orang yang menyembunyikan rahasia besar.
“Yaelah Cha, kalau lo ngomongnya terbata-bata gitu, tahun depan juga gak bakal beres.” Sergah Fini.
“Oke. Oke.” Ocha mengehela nafasnya. “Dinda tadi ngeliat Fido sama Rasta di parkiran. Terus dia langsung lari gitu.”
“Apa? Fido sama Rasta?” Ucap Fini dan Syila hampir barengan.
“Ih, biasa aja dong! Budek nih!” Protes Ocha.
“Emangnya Dinda masih ngarepin Fido ya?” Tanya Fini.
Ocha hanya mengerutkan dahinya, betanda ia tak tahu manahu tentang perasaan Dinda pada Fido.
Esok harinya Dinda juga sama seperti kemarin, hanya diam dan melamun. Ia bagaikan orang yang jiwanya hilang entah kemana. Setiap kali ditanya, Dinda enggan menjawab, sekalipun ia tak merespon ketiga sahabatnya,
Dalam benak Dinda, hanya satu yang selalu ia pikirkan. Fido yang pulang bareng dengan Rasta. Karena itu bukan kali pertama ia melihat mereka, tapi sering. Namun setiap Dinda melihat mereka, ia hanya mencoba bersikap cuek. Tapi sekarang sikapnya makin parah, ia bagaikan mayat hidup.
Saat jam istirahat, Dinda pergi ke belakang sekolah dan air mata yang sejak tadi pagi ia bendung, kini tak dapat tertahankan lagi. Ia berada dalam lautan air mata. Sampai akhirnya ketiga sahabatnya datang dan langsung memeluknya dari belakang. Dinda kaget. Namun ia seperti tersadar akan suatu hal saat tangan ketiga sahabatnyan menyentuh bahunya. Ia tak sendiri. Masih ada Fini, Ocha dan Syila yang bisa membuatnya bersemangat.
“Kita tahu kalau lo lagi sakit hati.” Ucap Syila membuka pembiacaraan.
Dinda tak menjawab, ia hanya memanadang ketiga sahabatnya secara bergantian, ia heran darimana mereka tahu semua itu.
“Gue ngeliat lo kemarin di koridor saat lo lagi ngeliatin Fido dan Rasta.” Terang Ocha.
“Kita khawatir banget sama lo, lo udah kayak mayat hidup. Kerjaan lo cuma ngelamun, diem, saat kita tanya lo malah gak ngerespon.” Jelas Fini.
“Kita gak mau lo kayak gini hanya gara-gara cowok kayak Fido. Inget Din! Fido itu mantan lo yang udah bikin lo sakit hati.” Ocha mengingatkan.
“Tapi gue gak bisa untuk ngrhapus nama dia di hati gue. Jangankan buat ngehapus, lupain dia untuk sedetik aja tuh susahnya minta ampun. Mungkin dulu gue terlalu dalam menancapkan cinta gue untuknya. Dan ternyata bener ya kata orang, kalau cinta itu semakin ingin dilupakan, semakin sering ia muncul dalam ingatan kita.” Keluh Dinda.
Kata-kata kasar dan mengena pada hati Dinda adalah ucapan Syila, cinta itu tak harus memiliki dan dunia gak akan berakhir tanpa cowok yang gak berguna kayak Fido.
Kini Dinda berada dalam kebimbangan, sebenarnya ia ingin melupakan semua kepahitan itu, tapi justru saat melupakannya sedikit saja, ia malah dihadirkan berulang kali kejadian Fido bersama Rasta. Namun jika ia tak berusaha melupakan, ia akan semakin terpuruk dan tebelenggu rasa sakit hati, marah, benci, penyesalan dan kesedihan yang berlarut.
Kata orang bijak, dimana ada keinginan pasti disitu ada jalan. Namun sayangnya, kini kata-kata bijak itu tak menyentuh keinginan Dinda. Tapi disetiap ada keinginan keras, pasti selalu ada halangan dan rintangan yang membentang, batin Dinda.
Dinda tak ingin dirinya terus menerus seperti ini, ia juga ingin membuktikan pada dunia kalau ia mampu hidup tanpa kehadirannya. Tuhan tidak mungkin menciptakan manusia untuk hidup sendiri dan kesepian. Ia yakin, dibalik ini semua, ada cowok yang lebih baik dan mungkin lebih sempurna dari Fido.
* * *
“Gimana Din, lo udah bisa ngelupain Fido?” Tanya Fini.
“Udah sih, tapi dikit. Emang kenapa?” Dinda jadi heran.
“Gak kok, kemarin gue denger di radio kalau Fido kirim ‘say hai’ buat cewek yang satu sekolah sama dia dan berinisial ‘D’, dia bilang kalau dia akan selalu mencintai cewek itu.”
“Terus kenapa?”
“Gue kira itu say hai buat lo.”
Dalam batin Dinda bila say hai itu ditujukan untuknya. Solanya mana mungkin Fido yang kini dekat dengan Rasta bisa mengucapkan itu untuknya kalau bukan untuk pelarian semata.
Ucapan Fini tadsi sore membuat perasaan itu datang lagi mengetuk hati Dinda. Kalau aja Fini gak bilang kayak gitu, pastilah malam ini Dinda bisa tidur nyenyak. Dinda pikir, kalau yang dimaksud Fido adalah dirinya, karena ia juga berinisial ‘D’. Tetesan air mata pun tak terasa mengalir dari sudut matanya. Ia melirik lemari bukunya dan mengambil kotak yang diatasnya bertuliskan “Memory”. Perlahan ia membukanya, didalamnya berisi sebuah puisi-puisi, gambar. Foto dan sebuah jam tangan berwarna biru. Isi semua kotak itu pemberian dari Fido yang tak mampu Dinda enyahkan sampai saat ini. Kotak itu yang selalu menghantui Dinda dan membuatnya sulit untuk melupakan bayang- bayang semunya.
* * *
Saat itu hujan turun dengan derasnya. Dinda pulang telat karena harus piket harian. Setelah piket, ia duduk di depan kelasnya, melihat jutaan air turun ke bumi dengan riangnya dan melamun. Sejak kecil, Dinda sangat menyukai hujan, karena setelah hujan ia pasti dibawa keluar oleh ayahnya utnuk melihat pelangi.
Lamunan Dinda buyar ketika sesosok anak lelaki berlari mendekati kelasnya dan berhenti didekatnya dengan membawa tas dan jaket dalam keadaan basah kuyup.
“Eh, boleh ikut neduh kan?” Sapa anak lelaki itu ramah.
Dinda mengagguk. “Fido, kenapa belum pulang?”
“Aku habis dari kantor, tadi aku ikut ulangan susulan. Kamu belum pulang karena piket harian ya? Temen-temen kamu pada kemana?” Tanya Fido sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya agar hangat. Ia kedinginan. Terlihat kedua kukunya biru seperti warna kulit yang lebam.
“Fini, Ocha dan Syila maksudnya?”
Fido mengangguk, “siapa lagi kalau bukan mereka?”
“Mereka udah pulang duluan, katanya sih ada urusan masing-masing gitu.”
Beberapa menit kemudian mereka terlibat dalam obrolan yang cukup lama sampai akhirnya hujan reda dan mereka berniat untuk pulang karena hari semakin sore. Pertemuan siang itu menjadi awal tumbuhnya benih cinta dalam hati Dinda dan Fido.
* * *
Esok harinya, Dinda tak masuk sekolah dengan laasan sakit. Saat Ocha menghubungi nomor Dinda, hanya ada suara operator yang mengatakan “Nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif.”
“Dinda sakit apaan ya?” Tanya Syila.
“Gue juga gak tau. Oya Fin, bukannya kemarin lo dari rumahnya Dinda ya? Dia kelihatan pucet gak?” Tanya Ocha sambil terus mencoba menghubungi Dinda.
“Iya sih, tapi kemarin dia baik-baik aja kok. Sehat walafiat. Gimana kalau kita samperin ke rumahnya aja?” Usul Fini.
Sepulang sekolah, Ocha, Fini dan Syila meluncur ke rumah Dinda. Disana mereka langsung dipersilahkan masuk ke kamar Dinda. Telihat Dinda lagi duduk disudut kamarnya, memandang kotak memory-nya.
Ketiga sahabatnya kembali heran dengan sikap Dinda yang kembali terpuruk. Mereka mendekati Dinda, lalu Syila mengelus rambut sebahu Dinda. Dinda menoleh, mata sembabnya tak bisa ia sembunyikan dari teman-temannya.
“Maafin gue Din, seharusnya kemarin gue gak usah ngomong kayak gitu sama lo. Sekarang gara-gara gue, lo jadi terus kefikiran kayak gini.” Lirih Fini merasa bersalah.
“Bukan salah lo kok. Gue aja yang bodoh, kan yang berinisial ‘D’ banyak, bukan cuma gue doang, tapi Rasta juga berinisial ‘D’, Derasta Oktari.” Jawab Dinda menyeka air matanya.
“Jangan sedih-sedihan kayak gini dong!” Ucap Ocha tiba-tiba. “Gue ada ide, gimana kalau hari ini kita bakar semua barang yang ada dalam kotak memory itu? Supaya lo bener-bener bisa lupain yang namanya FIDO!! Dan mulai sekarang lo harus menyibukkan diri dan hindari mendengarkan lagu bernuansa sakit hati, putus cinta atau kehilangan seseorang.” Usul Ocha dengan semangat `45.
Fini menyarankan agar Dinda mencari pacar lagi. Namun ternyata Dinda tipe cewek yang sulit bilang “iya” untuk pacaran. “Semua butuh proses untuk pacaran.” Ucap Dinda.
Syila juga menyarankan supaya Dinda mengingat kejelekan dan kekurangan Fido. Namun sayangnya saran Syila pun tak mempan bagi Dinda. Karena ternyata Dinda mencintai ketidaksempurnaan yang Fido miliki.
Dinda memutuskan untuk ikut ekskul KIR bersama ketiga sahabatnya. Ia sengaja ikut ekskul KIR, karena KIR selalu mengadakan kegiatan outdoor. Kata Ocha, penelitian itu gak bakal bikin boring dan pasti akan mengasyikan.
* * *
“Dua minggu lagi KIR mau ngadain penelitian outdoor lagi lho!” Ujar Ocha semangat.
“Oya? Kemana?” Tanya Fini yang tak kalah semangatnya.
“Katanya sih mau ke kebun teh.” Jawab Syila.
Yaps, meskipun Dinda sangat tertarik dengan kegiatan KIR yang satu ini, namun ia tetap membungkam mulutnya, enggan berkomentar. Seolah ia punya dunia lain yang lebih menarik untuk diperhatikan. Ia masih BT sama sikap kakaknya tadi pagi yang merendahkan dirinya akibat nilai-nilai ulangan Dinda yang turun dari semester sebelumnya.
Hari yang Dinda tunggu-tunggu pun tiba, penelitian outdoor ke kebun teh. Semalaman ia telah mempersiapkan baju, sepatu dan tas yang match. Namun ternyata tak ada orang yang memperhatikannya.
Seketika Dinda tak mampu bergerak, spontan ia menjadi kaku saat melihat Fido dan Rasta memakai T-shirt hijau yang hampir sama. Ia tertegun selama beberapa detik. Lalu mengucek-ngucek matanya, “sejak kapan Fido suka warna hijau?”
Ternyata Rasta adalah “Green Lovers”. Jadi gak heran kalau Fido pun kini mengenakan T-shirt hijau. Seharian itu Dinda cemberut, ia tak habis fikir, sejak kapan Fido dan Rasta ikut KIR dan kenapa ia bisa tidak tahu akan hal itu.
“Sabar ya Din, lo pasti heran kenapa mereka berdua bisa ada disini.” Ujar Ocha. Dinbda mengagguk, matanya tak bisa lepas memandang bergantian mereka berdua.
“Mereka baru ikut KIR seminggu yang lalu. Saat pengumuman acara ini dipasang.”
“Kenapa lo gak kasih tau gue Cha? Padahalkan lo yang data anak-anak yang mau ikut acara ini. Tahu ada mereka sih, meningan gue gak ikut.” Protes Dinda.
“Nah itu dia yang gue gak mau. Lo jadi batal ikut acara ini hanya karena mereka. maafin gue Din, ini demi kebaikan lo juga kok. Sebenernya gue pengen kasih tahu sama lo, tapi setelah gue pikir-pikir lagi, kayaknya ini saatnya lo buktiin sama dunia dan Fido kalau lo bukan cewek yang lemah dan cengeng.”
Kata-kata Ocha membuat hati Dinda tersentak, kenapa ia tak berpikir sampai kesitu. “Ocha bener, gue gak boleh lemah.” Batin Dinda.
Penelitian itu pun berakhir dengan susasana gembira karena ditemani cuaca gerimmis yang cukup lama. Moment ini mengingatkan Dinda pada pertemuan sepulang sekolah satu setengah tahun yang lalu. Namun kini, gerimis dijadikan Dinda sebagai senjata yang dapat menghapus semua memory yang terus menghantuinya.
Saat Dinda tiba di rumah, ia kaget melihat Noval datang ke rumah bersama temannya. Noval ingin meminjam DVD film actionnya yang baru ia beli seminggu yang lalu. Sejak kotak memory-nya dibakar, ia jadi suka mengoleksi film action.
Akhirnya Dinda berkenalan dengan temannya Noval yang bernama Nino. Ia seorang mahasiswa semester 2, jurusan teknik elektro. Dinda mengagumi Nino saat Nino cerita banyak tentang dirinya. Apalagi Nino itu anaknya baik dan sopan.
Siang itu saat jam istirahat Dinda, Fini, Syila dan Ocha seperti biasa kumpul di kantin. Tiba-tiba Dinda menceritakan tentang Nino.
“Hah? Jadian?” Ucap Fini kaget.
“Sama anak kuliahan?” Tambah Syila tak percaya.
“Anak elektro?” Teriak Ocha yang hampir bisa didengar seluruh penghuni kantin.
“Kalian ini kenapa sih? Kayaknya aneh banget kalau gue jadian sama anak kuliahan yang ngambil jurusan teknik elektro.” Jawab Dinda datar.
“Bukan gitu, kita memang seneng sih denger lo udah bisa lupain Fido. Tapi kok secepat ini?” Tanya Ocha yang kini bisa berbicara lebih pelan.
“Emang kenapa? Gue kenal dia dua bulan yang lalu dan kita jadian tiga hari yang lalu, dia temen sepupu gue,”
Ketiganya tersenyum riang melihat perubahan Dinda sekarang. Dinda yang gak pemurung dan terbelenggu hitamnya masa lalu. Satu pelajaran yang berharga bagi Dinda, baginya melupakan seseorang itu memang sulit, namun jika ada seseorang yang menggantikannya, pasti akan lupa dengan sendirinya. Semua itu butuh proses dan waktu.

2 comments:

  1. coba kalo nama gw yang di pake,,
    pasti lebih seru tuh cerita..
    hwehehehehehe

    ReplyDelete
  2. hhahha .
    emang apa ngaruhnya ?
    gakkan ngerubah hatinya Dinda tuh .
    =P

    BTW ,follow my blogg ya .
    ntar gue follback .
    =)

    ReplyDelete

Silahkan comment UPIL gue dengan kaidah yang baik, tidak OOT, tidak vulgar dan tidak menyinggung SARA. ^^b #okesip