Wajah yang sama, tubuh yang sama, tapi langkah kaki yang
berbeda. Ketika aku berjalan ke kanan, mengapa kau mengambil jalan ke kiri? Tak
bisakah kau berbalik dan menyusulku di jalan sebelah kanan? Asal tempat kita
sama, lantas mengapa tujuan kita berbeda? Saat kita di jalan yang sama,
genggaman tanganmu begitu erat. Hangat. Tanganmu selalu hangat sehingga
pori-porimu terlalu sensitif ketika bersapa dengan dinginnya udara. Bahkan kukumu
akan berwarna biru lebam saking dinginnya. Masihkah kau ingat ketika kita
selalu menyamakan langkah bahkan irama kaki kita?
Meskipun kini jalan kita berbeda, tapi ketahuilah satu hal. Jejak itu masih ada karena sejarah telah mencatatnya. Kamu takkan bisa menghapusnya. Takkan pernah bisa. Aku telah menghilangkan penghapusnya. Kemanapun kau cari penghapus itu, kau takkan menemukannya.
Kini aku sadar, selama kita masih bisa menatap langit yang
sama, aku tak khawatir. Karena ketika kulihat
langit tampak tersenyum, disitulah aku menemukanmu. Wajahmu yang kukenal sejak
tujuh tahun silam, tergambar samar di atas sana. Tapi tetap saja, selalu dalam
suasana bersahabat. Apa yang kau katakana kepada sang langit di sana? Apakah kalian
bersekongkol agar aku bahagia di sini? Tak bisakah muncul sebentar sekedar
untuk menyapa kabarku?
Waah, langkah kita terlampau jauh. “Langit, apa yang
sekarang sedang dilakukannya? Apakah ia dalam keadaan baik-baik saja?”
“Jangan cemas, aku telah mengirimkan pelangi kepadanya. Ia tersenyum
ketika melihat pelangi bersamanya. Bahkan ia tampak sangat bahagia.” Langit
berkata lewat angin sore.
“Bersamanya? Siapa?”
Langit tak menjawabnya lagi, itu sudah cukup membuatku
penasaran setengah mati. Langit menurunkan tetes air. Sepertinya ia merasa
bersalah dan menghilang dibalik awan hitam. Seperti sebuah kaset yang berputar
kalimat itu selalu terngiang. “Sayang, cinta, banget, sama kamu.” Ucapanmu saat
itu terpatah-patah saking susahnya untuk mengungkapkannya. Dulu, sesulit itukah
kau mengucapkannya? Aku hanya berpikir, apakah saat itu bermakna terlalu sayang
atau tidak percaya diri.
Kini, langkah tak dapat mempertemukan kita. Mata tak mungkin dapat memperlihatkan kesamaan lagi. Maka aku menulis ini agar kau membacanya. Aku takkan pernah berhenti menulis, selama kau masih ada di sana. Langit sudah tak dapat dipercaya sebagai mata-mata. Maka aku menggunakan tulisan sebagai sahabat baikku. Aku menulis karena kau ada.
Cursornya ganggu banget si >.<
ReplyDeleteaseeeeemmmb -____- susah kui bikinnya!
ReplyDeleteSiapakah dia??
ReplyDeletea. Ada
b. kau
c. menulis
d. aku
Jawab: B
ReplyDelete:D
pita hayooo,,????
ReplyDeletehayooo tepy!
ReplyDeletekauuu :D
ReplyDelete