Langkahku semakin cepat ketika ku lirik jarum jam tangan silverku telah
memeluk angka satu dan dua belas. Suara sepatuku mengiri irama gerakan kaki
yang tak henti melangkah di atas lantai marmer bening kecoklatan. Setelah
berbelok di koridor sebelah utara lobi, perlahan aku membuka pintu ruang
meeting lantai satu. Disana telah duduk sepuluh orang hebat dengan pakaian
mewah yang melekat erat. Pria dengan dasi dan jas bermerk, serta wanita dengan
bajunya yang berwibawa dan terlihat kontras berbeda dengan kasta sudra sang OB
yang sedang menyuguhkan minum kala itu.
Aku berdeham sejenak, “maaf saya terlambat lima menit.”
Pria setengah baya mempersilahkan duduk di atas kursi empuk itu dan aku
segera bergabung dengan mereka tanpa rasa canggung karena sudah lima tahun
lebih aku bergelut dan membaur dengan dunia mereka.
Jadi aku sudah mengetahui
sedikit banyak tentang mereka.
“Bu Indri, tumben sekali anda terlambat.” Seseorang di sampingku yang biasa
di panggil Bu Laras menegurku.
“Biasa, anak saya rewel lagi di rumah.” Aku mencoba bersikap biasa
kepadanya.
Selama aku bekerja di lembaga pemerintah yang memberantas kerakusan manusia
terhadap materi ini, akhirnya aku menangani kasus dari daerah selain ibukota.
Aku mulai mencari akar dan dalang kasus ini secara intensif dan hampir
membuatku lembur setiap malam. Terkadang aku tak pulang ke rumah meski anakku
menangis dan memohon agar aku pulang, namun aku adalah orang yang selalu
mementingkan tanggungjawab melebihi apapun. Karena untuk mencapai tingkatku
sekarang adalah perkara yang tak mudah. Sejak kecil, aku telah banyak berkorban
demi mencapai posisiku kini.
* * *
Siang itu begitu terik tak seperti
hari kemarin, aku berlari menuju gedung putih dengan tanda ‘plus’ berwarna
hijau. Udara panas dan berdebu itu membuatku terbatuk kala menyebrang di
tikungan maut. Namun aku tak perduli seberapa banyak debu kotor terhirup
paru-paruku, seberapa mampu kakiku bertahan di atas aspal yang nyaris
membakarku. Karena yang aku pikirkan hanya satu, yaitu bagaimana caranya aku
sampai kesana secepat mungkin. Daun yang tertiup angin membisikkan semangat agar
aku tak berhenti berlari. Maka aku terus berlari.
Aku menemui seorang wanita berbaju hijau yang mirip dengan mantel egois,
lengkap dengan penutup kepala yang aku anggap topi dan berwarna hijau juga. Namun
tidak dengan baju bagian depannya yang ada bercak merah, menandakan ia baru
selesai menangani pasien kecelakaan atau operasi. Aku melirik ke dalam mata
teduhnya yang terlihat penuh kasih sayang, lalu beliau pun menggeleng lemah.
Aku meraung, berteriak, menangis tapi aku nyaris tak dapat mendengar suaraku
sendiri. Tangisku redam dalam kelengangan.
Aku pulang ke rumah dengan membawa rasa yang tak karuan. Karena setelah itu
entah apa yang akan aku lakukan bersama hidup yang nyaris menggerogotiku dengan
waktu yang amat panjang ini. Aku meneguk air jeruk yang entah sejak kapan
berada di atas meja. Tak perduli seberapa kecut rasanya, karena yang aku tahu
bahwa hidup ini pahit. Di samping gelas air jeruk itu tergeletak dengan santai
sebuah pisau yang matanya cukup membuatku tertarik untuk memainkannya di atas
pergelangan tanganku yang mungil. Nyaris aku melakukan hal yang sebenarnya gila
apabila dipikir dengan otak logis. Sepertinya aku tergoda untuk mempraktekkan
adegan dalam sebuah film yang ditayangkan oleh beberapa pemuda di warung Bu Min
dua minggu yang lalu.
Imajiku telah melayang menyentuh cermin yang memantulkan bayangan tak
karuan, tapi bayangan itu menampakkan sebuah amarah yang terendam. Bayangan itu
menggenggam pisau runcing di tangan kanan dan diam tak berkutik hingga beberapa
menit, lalu ia pun menangis sejadinya. Ya, bayangan itu adalah aku. Aku yang
tak lagi memiliki pegangan saat aku tertatih menahan beratnya takdir, aku tak
lagi memiliki sandaran saat aku mulai letih berjalan di atas waktu yang entah
sampai kapan akan terus menggerogoti, aku pun tak memiliki lawan bicara lagi di
bangunan sepetak itu selain sebidang tembok yang mulai retak dan bau lembab
yang semerbak.
Dua bulan berlalu begitu lama, saking lamanya aku berani taruhan bahwa aku
menjadi pemenang saat lomba maraton bersama waktu. Dua lembar sepuluh ribu hidup
di pinggiran ibukota itu hanya mampu bertahan selama seminggu apabila aku hanya
memakan pisang dari kebun belakang rumah kosong di sudut jalan sebrang kuburan
yang konon angker itu.
Aku menggeleng keras menerima kenyataan itu, “aku mampu bertahan sepeninggal
ibu”, aku meyakinkan dalam hati. Ketahuilah, bahwa aku telah menyerap sari-sari
kehidupan yang mencekam melalui plasenta yang terhubung antara tubuh ibu dan
tubuhku. Karena aku pun terlahir bukan dari rahim wanita lemah, aku tidak
belajar merangkak di atas karpet mahal atau belajar berdiri di atas keramik marmer
mewah, aku belajar beradaptasi di atas duri hidup yang tak pernah terbayangkan
olehku sejak dalam kandungan ibu yang hangat. Maka tak ada kesempatan bagiku
untuk mengeluh.
Sekolah adalah satu-satunya tempat dimana aku punya kehidupan yang masih
dianggap layak. Dan aku memiliki posisi yang aku inginkan dikelas. Aku menjadi
bendahara sejak kelas 4. Aku sangat menikmati posisi itu, karena aku bisa
memegang banyak kertas yang mereka sebut itu uang. Uang kas hasil penarikan
dari empat puluh saku seragam berbagai kasta. Dan tentu saja aku berada di
kasta sudra, meski teman-temanku tak ada yang mengetahuinya. Karena yang mereka
tahu, aku hidup normal dengan keadaan yang berkecukupan karena di dunia ini
masih bertahta teori ‘cara berpakaian mencerminkan materi seseorang’.
Sebenarnya aku tidak terlalu perduli dengan adanya teori seperti itu, meski
secara tidak langsung aku tertolong. Anggap saja itu menjadi tameng, toh aku
tak pernah mendengar lolongan dari mulut teman-temanku, sebusuk apapun itu. Ya,
aku sudah diajarkan seperti itu oleh ibu sejak aku balita.
Pagi tadi aku berangkat ke sekolah hanya berbekal dua gelas air putih dan
di kantin sekolah aku hanya mendapat sisa cilok temenku yang sakit perut
gara-gara terlalu banyak sausnya. Itulah bedanya perut yang ramah lingkungan
dan tidak, gumamku dengan bangga. Dan sore ini akhirnya aku hanya mampu membeli
satu roti tawar seharga seribu dari warung Bu Min.
Ketika sedang asik menyantap roti itu, seorang gadis dengan rambut kriwil
masuk dengan sembrono ke dalam gubukku, nafasnya tersengal-sengal.
“Siapa kamu?” aku bertanya seraya bangun dari dudukku.
“Ssssstttt..” ia mengisyaratkan aku untuk diam.
Setelah suara ribut-ribut di luar berlalu dengan begitu cepat, aku mulai
memahami situasi ini. Rupanya anak tersebut telah mencuri beberapa lembar uang
dua puluh ribu dengan menipu seorang ibu tua. Aku yang segera akrab dengan anak
yang ternyata bernama Beti itu menjadi teman mulai saat itu. Beti yang merasa
tertolong olehku, menawarkan sebuah pekerjaan untuk menambah pemasukanku.
Selama ini aku hanya bergantung pada uang peninggalan ibu yang semakin hari
kian menipis.
Kini, setiap hari minggu pagi aku segera bergegas pergi bersama Beti ke
perempatan jalan yang berjarak lima ratus meter dari tempat tinggalku untuk
menemui seorang bapak berjenggot tipis dan berkumis tebal.
“Selamat pagi pak.” Beti menyapa ramah. Aku hanya nyengir di belakang bahu
Beti.
“Pagi.” Balas sang Bapak sambil mengusap jenggot dengan tangan kirinya,
tangan kanannya memegang satu tumpuk kertas berhuruf kecil-kecil.
Beti maju dua langkah dari tempatnya berdiri, “pagi ini saya membawa teman
saya yang juga ingin membantu bapak. Jadi, hari ini saya dapat satu tumpuk atau
setengah?”
Bapak itu menoleh melihat badan kami yang kering. “Kalian mendapat satu
tumpuk, tapi nanti bagi menjadi setengah setengah ya..”
Loper koran, itulah jabatanku di hari libur mulai saat ini. Aku tak mau
kalah dengan kaum adam yang selalu saja lebih gesit sehingga lebih banyak uang,
itulah yang Beti ajarkan kepadaku kemarin.
Setelah koran-koran itu terjual habis dalam waktu beberapa jam. Kami
kembali menemui bapak jenggot tipis dan berkumis tebal itu untuk menyetorkan
hasilnya. Namun, tentu saja sebelumnya aku dan Beti telah memberi makan saku
kami dengan satu lembar Tuanku Imam Bonjol. Dengan alasan sakit perut kami
langsung ngacir setelah menerima uang jatah yang sesungguhnya.
Aku tak ingin menangis pada keadaan, tak ingin kalah oleh penderitaan, aku
pun tak ingin melawan takdir. Tapi aku berjuang untuk hidup yang masih ku
pertahankan demi cita-cita yang aku inginkan. Ya, aku punya cita-cita seperti
halnya anak-anak yang lain. Aku mengagumi cita-citaku ini sejak duduk di bangku
kelas dua. Bagiku, cita-citaku ini sangat mulia seperti layaknya Sailormoon
atau Saras 008. Bedanya, jika mereka melawan musuh yang berwajah monster. Tapi
aku akan melawan makhluk yang berhati dan berakal monster. Seburuk apapun
kehidupanku, aku masih memiliki hati nurani seperti apa yang diharapkan oleh
mendiang ayahku yang gagah.
Hari ini pada jam pelajaran pertama aku mengantuk dan tanpa terasa aku
tertidur. Dalam tidurku, aku bermimpi bahwa aku berada di sebuah istana yang
mewah dan indah. Aku mengenakan sebuah gaun putih yang cantik, disana juga ada
Beti yang tak kalah cantik. Lalu ada banyak boneka Barbie dengan segala accessoriesnya yang menawan dan menarik
perhatianku. Barbie itu melambai ke arahku dan aku dengan serta merta langsung
menghampiri mereka dan memainkannya. Tiba-tiba Barbie tersebut mencubitku, aku
pun terbangun. Lalu aku di hukum bu guru untuk berdiri di depan kelas. Sungguh
sebuah mimpi indah di siang bolong.
Sesampainya di gubuk, aku menceritakan mimpiku pada Beti. Aku pun hanya
melamunkan betapa senangnya apabila aku dapat memiliki semua Barbie itu, tak
harus semua juga tak apa. Karena satu Barbie saja telah cukup membuatku senang
setengah mati. Namun ketika aku melihat pada kenyataan dan uang menjadi
penghalang utama, hatiku nyaris remuk.
“Ndri, jangan sedih ya. Aku tahu bagaimana cara mudah kau mendapatkan mimpi
itu sehingga menjadi nyata.” Beti merangkul pundakku, meyakinkan.
Aku pun terhipnotis dengan setiap kalimat yang terlontar dari mulut Beti.
Aku bergegas mengambil kantung kresek yang telah aku namai bagian luarnya
dengan tulisan ‘UANG KAS’. Tanpa ragu lagi aku mengambil beberapa lembar uang
di dalamnya. Ini tidak seberapa, pikirku. Lalu aku bergegas ke kamar untuk
mengambil celenganku, dengan hati-hati aku memecahkannya. Setelah puas melihat
banyak uang, aku pergi dan membeli satu buah Barbie yang sangat cantik, hampir
mirip seperti apa yang ada dalam mimpiku. Hari itu, untuk pertama kalinya aku
mengambil uang kas.
Lambat laun, aku semakin gemar untuk mengambil beberapa uang dari dalam
kresek itu, bahkan kini terkadang aku bisa makan dengan ayam goreng. Dan kini
kantong itu kosong melompong tanpa berat dan isi. Aku kelimpungan, bingung
harus menjawab apa seandainya aku ditanya oleh bu guru besok di sekolah.
“Indri, ada berapa jumlah uang kas kelas kita?” Bu Nina bertanya padaku
suatu hari.
Aku hanya menunduk dan diam. “Anu bu ..”
“Ada apa? Andi sakit, dan kita akan menggunakan uang kas untuk menjenguk Andi.”
“U…uang ka…kasnya hila..ng bu. Kemarin saya kena copet.” Aku tergagap dan
berharap bu Nina akan percaya. Dan bu Nina memang percaya dengan wajah polosku,
lalu beliau pun mengganti semua uang kasnya.
Sepulang sekolah, aku terkejut karena gubuk jelekku ramai. Ada sesuatu hal
yang tak beres. Aku melongok ke dalam, Beti sedang dikerumuni oleh orang-orang.
Bukan karena sakit atau pingsan. Tapi ia mati tertabrak puso dan jasadnya telah
tertutup kain putih. Aku terhenyak, sahabat sekaligus saudara angkatku
satu-satunya pun hilang. Aku mulai berpikir dan enggan lagi untuk mengambil
uang yang bukan menjadi milikku. Karena Beti mati setelah ia mencopet.
* * *
Kasus illegal loging di daerah Riau membuatku nyaris tercekat dalam
kerumitan yang tak berujung. Kenyataan menamparku ketika ku ketahui bahwa
tersangka yang aku incar selama ini adalah suamiku sendiri. Suami yang selama
ini aku cintai dan pekerja keras dalam mengelola perusahaan meubel ternama.
Bagaimana mungkin aku selama ini tak mengetahuinya? Bagaimana bisa dia memberi
makan anak tercintaku dengan uang haram tanpa sepengetahuanku? Untung saja aku
tak membiarkan uang suamiku mengalir dalam darahku, karena itulah kesepakatan
awal pernikahan kami. Aku akan menikmati jerih payah suamiku bila aku
pengangguran.
Aku remuk ketika wajah oriental suamiku menampakkan mimik memelasnya di
balik jeruji besi yang temboknya berbau lembab. Namun aku tak bisa berbuat
apapun karena aku masih berpijak di atas tanggungjawab yang aku sadari lebih
penting. Dan hukum negara ini harus mulai ditegakkan. Itulah cita-cita masa
kecilku yang harus ku junjung tinggi tanpa melihat siapa tersangkanya. Meskipun
aku tahu persis konsekuensi psikis yang akan menimpaku dan juga keluargaku karena
lolongan kalimat tetangga atau siapapun. Aku jijik dengan jiwa koruptor yang
ada dalam raga suamiku tercinta. Seonggok kerakusan yang telah matang membuatku
semakin muak. Karena aku sangat membenci koruptor.
No comments:
Post a Comment
Silahkan comment UPIL gue dengan kaidah yang baik, tidak OOT, tidak vulgar dan tidak menyinggung SARA. ^^b #okesip